Analisis Hukum: Pergub DKI Jakarta No. 103 Tahun 2020 tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2021
Konteks Historis dan Sosial-Ekonomi
-
Latar Belakang Pandemi COVID-19
Peraturan ini diterbitkan pada Oktober 2020, di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus menyeimbangkan kepentingan pekerja (peningkatan kesejahteraan) dengan kelangsungan usaha, terutama bagi UMKM dan sektor informal yang terdampak parah. -
Penurunan Persentase Kenaikan UMP
UMP DKI Jakarta untuk 2021 naik 3,27% (dari Rp4.276.349,28 di 2020 menjadi Rp4.416.186,55). Kenaikan ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya (8,51% untuk UMP 2020). Hal ini mencerminkan kebijakan “penyesuaian” alih-alih “peningkatan signifikan” untuk mencegah PHK massal dan menjaga stabilitas ekonomi. -
Dewan Pengupahan dan Dinamika Sosial
Rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta (melibatkan tripartit: pemerintah, asosiasi pengusaha, dan serikat pekerja) menjadi kunci. Meski serikat pekerja mengusulkan kenaikan lebih tinggi, tekanan pengusaha dan kondisi ekonomi membuat Gubernur Anies Baswedan memilih angka kompromi.
Aspek Hukum Kritis
-
Dasar Hukum Fleksibilitas Upah di Masa Krisis
- PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (Pasal 41) mengatur formula penghitungan UMP berbasis inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
- PP No. 78 Tahun 2020 (Perubahan atas PP No. 78/2015) memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk menyesuaikan UMP dengan kondisi khusus, seperti bencana non-alam (termasuk pandemi). Ini menjadi landasan hukum penurunan persentase kenaikan UMP 2021.
-
Polemik Penghitungan
Serikat pekerja mengkritik penggunaan data makroekonomi nasional (bukan spesifik DKI Jakarta) dalam penghitungan UMP, yang dinilai tidak akurat merepresentasikan kebutuhan hidup di ibu kota.
Implikasi Kebijakan
-
Dampak pada Tenaga Kerja
Kenaikan 3,27% dianggap tidak sebanding dengan inflasi dan biaya hidup di Jakarta, terutama bagi pekerja sektor informal yang tidak terlindungi oleh peraturan upah minimum. -
Dukungan untuk Dunia Usaha
Kebijakan ini dianggap membantu stabilisasi usaha, khususnya di sektor retail, manufaktur, dan pariwisata yang sedang tertekan. Namun, kritik muncul karena tidak ada sanksi tegas bagi perusahaan yang menggaji di bawah UMP.
Perbandingan dengan Kebijakan Lain
- Perpres No. 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional turut mempengaruhi kebijakan upah di Jakarta, dengan menekankan prinsip “penyelamatan lapangan kerja”.
- UMP Provinsi Lain: Sebagian besar provinsi (misalnya, Jawa Barat dan Banten) juga menetapkan kenaikan UMP di kisaran 1-4% pada 2021, menunjukkan kebijakan nasional yang seragam di masa krisis.
Catatan Penting
- Pengecualian: Perusahaan yang kesulitan keuangan dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan UMP ke Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta, tetapi prosedurnya dinilai rumit dan tidak banyak dimanfaatkan.
- Efek Jangka Panjang: Kebijakan ini menjadi preseden untuk penyesuaian upah berbasis kondisi darurat, yang mungkin digunakan kembali dalam krisis ekonomi di masa depan.
Rekomendasi: Pemahaman atas Pergub ini harus dikaitkan dengan dinamika hukum ketenagakerjaan nasional dan kebijakan pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Perlu diwaspadai potensi sengketa antara pekerja-pengusaha terkait implementasinya.