Analisis Peraturan Menteri PANRB No. 13 Tahun 2021 tentang Jabatan Fungsional Apoteker
Konteks Historis dan Tujuan Pengaturan
-
Reformasi Birokrasi dan ASN:
Peraturan ini muncul dalam kerangka reformasi birokrasi yang digencarkan pemerintah Indonesia pasca-berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Tujuannya adalah menciptakan tata kelola ASN yang profesional, berbasis merit, dan berorientasi pada kinerja. Jabatan fungsional apoteker sebelumnya diatur dalam Permen PAN No. PER/07/M.PAN/4/2008, yang dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan layanan publik terkini, terutama di bidang kesehatan. -
Peran Strategis Apoteker dalam Layanan Publik:
Apoteker memiliki peran krusial dalam menjamin ketersediaan, keamanan, dan mutu obat serta pelayanan kefarmasian. Peraturan ini mempertegas posisi apoteker sebagai tenaga kesehatan strategis dalam sistem kesehatan nasional, terutama dalam mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan penanganan pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung saat peraturan ini diterbitkan (2021).
Inovasi dan Perubahan Penting
-
Penyesuaian Klasifikasi Jabatan:
Peraturan ini memperbarui klasifikasi jabatan fungsional apoteker dengan menyelaraskan jenjang karier (mulai dari Ahli Pertama hingga Ahli Utama) dan angka kredit yang lebih transparan. Hal ini memastikan kesetaraan dengan jabatan fungsional lain dalam sistem ASN. -
Penekanan pada Kompetensi:
Diatur secara eksplisit kompetensi apoteker yang mencakup aspek teknis (misalnya farmakoterapi), manajerial, dan kepemimpinan. Ini sejalan dengan tren global yang menuntut apoteker tidak hanya sebagai peracik obat, tetapi juga sebagai bagian dari tim layanan kesehatan holistik. -
Digitalisasi dan Kepatuhan Hukum:
Peraturan ini mengakomodasi praktik kefarmasian modern, seperti penggunaan sistem informasi dan layanan digital, yang semakin relevan pasca-pandemi. Selain itu, integrasi prinsip Good Pharmacy Practice (GPP) dan standar etik profesi ditegaskan untuk mencegah malpraktik.
Tantangan Implementasi
-
Keterbatasan SDM:
Data Kementerian Kesehatan (2021) menunjukkan rasio apoteker di Indonesia masih rendah (1:10.000 penduduk). Peraturan ini perlu diikuti dengan rekruitmen massal dan distribusi merata apoteker, terutama di daerah terpencil. -
Harmonisasi dengan Regulasi Sektoral:
Perlu sinkronisasi dengan Permenkes No. 31 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Praktik Apoteker dan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.
Dampak terhadap Karir PNS Apoteker
- Peraturan ini memberikan kepastian hukum bagi PNS apoteker dalam hal kenaikan pangkat/jabatan, sistem penilaian kinerja (DUPAK), serta larangan rangkap jabatan untuk memastikan fokus pada tugas utama.
- Angka Kredit untuk kenaikan jabatan kini lebih terstruktur, dengan porsi signifikan pada unsur utama (pendidikan, pelayanan kefarmasian) dan penunjang (pengembangan profesi).
Peran Organisasi Profesi:
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) diberi mandat sebagai mitra pemerintah dalam pembinaan kompetensi, penyusunan standar, dan pengawasan etik. Ini memperkuat kolaborasi antara pemerintah dan profesi dalam menjamin mutu layanan.
Catatan Kritis:
Meski progresif, implementasi peraturan ini perlu didukung anggaran memadai untuk pendidikan berkelanjutan (CPD) dan insentif bagi apoteker yang bertugas di daerah tertinggal. Selain itu, pengawasan terhadap pelaksanaan larangan rangkap jabatan harus diperketat untuk menghindari konflik kepentingan.
Kesimpulan:
Permen PANRB No. 13/2021 adalah respons atas dinamika sistem kesehatan dan tuntutan reformasi birokrasi. Dengan memperkuat kerangka karier dan kompetensi apoteker, regulasi ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan kefarmasian publik serta daya saing ASN di sektor kesehatan.