Analisis terhadap Permen PANRB No. 73 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan
1. Konteks Historis dan Reformasi Birokrasi
- Penggantian Permen PANRB No. 27/2013: Peraturan ini menggantikan aturan sebelumnya karena dinilai tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum, terutama terkait kebijakan reformasi birokrasi dan sistem merit dalam ASN (Aparatur Sipil Negara) yang diatur dalam UU No. 5/2014 dan PP No. 11/2017 (diubah PP No. 17/2020). Perubahan ini menekankan transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme ASN.
- Reformasi Kementerian PANRB: Regulasi ini sejalan dengan agenda Kementerian PANRB untuk menyederhanakan struktur jabatan, meningkatkan kualitas SDM, dan memperkuat peran jabatan fungsional dalam mendukung kinerja sektor publik.
2. Tujuan Strategis
- Penguatan Peran Penyuluh Kehutanan: Penyuluh Kehutanan memiliki peran kritis dalam pengelolaan hutan berkelanjutan, pencegahan deforestasi, dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Peraturan ini mempertegas kedudukan mereka sebagai ASN fungsional untuk memastikan fokus pada tugas teknis tanpa terdistraksi oleh tugas struktural.
- Penyesuaian dengan Agenda Lingkungan Global: Indonesia berkomitmen pada Sustainable Development Goals (SDGs) dan Perjanjian Paris. Dengan mengatur kompetensi dan jenjang karier Penyuluh Kehutanan, regulasi ini mendorong kapasitas teknis dalam implementasi program lingkungan nasional.
3. Aspek Kompetensi dan Karier
- Standar Kompetensi: Permen ini secara eksplisit mengatur syarat kompetensi (pengetahuan, keterampilan, sikap) yang harus dimiliki Penyuluh Kehutanan, termasuk sertifikasi profesi. Hal ini sejalan dengan tren global dalam meningkatkan kualitas layanan publik berbasis keahlian.
- Jenjang Jabatan dan Angka Kredit: Terdapat empat jenjang jabatan (Pertama, Muda, Madya, Utama) dengan sistem angka kredit yang transparan. Ini memastikan kenaikan pangkat/jabatan berdasarkan prestasi, bukan senioritas semata.
4. Dampak pada Organisasi dan Profesi
- Organisasi Profesi: Regulasi ini mengakui peran organisasi profesi (misalnya, Asosiasi Penyuluh Kehutanan) dalam mendukung pengembangan kapasitas, etika, dan standar kinerja. Ini memperkuat kolaborasi antara pemerintah dan praktisi.
- Larangan Merangkap Jabatan: Larangan rangkap jabatan struktural-fungsional bertujuan mencegah konflik kepentingan dan memastikan fokus penyuluh pada tugas utama.
5. Tantangan Implementasi
- Harmonisasi dengan Daerah: Perlu sinkronisasi dengan pemerintah daerah, terutama dalam alokasi kebutuhan PNS Penyuluh Kehutanan, mengingat kewenangan kehutanan seringkali bersifat multilevel governance.
- Digitalisasi Penilaian Kinerja: Sistem penilaian kinerja dan PAK (Penilaian Angka Kredit) perlu diintegrasikan dengan platform digital untuk meminimalisasi manipulasi dan meningkatkan efisiensi.
6. Catatan Penting bagi Klien
- Transisi dari Aturan Lama: ASN yang sebelumnya diatur oleh Permen No. 27/2013 harus menyesuaikan dengan ketentuan baru, termasuk pengajuan angka kredit dan penilaian kompetensi.
- Peluang Sertifikasi: Klien di sektor kehutanan dapat memanfaatkan kolaborasi dengan Penyuluh Kehutanan yang telah tersertifikasi untuk program CSR atau proyek lingkungan.
Kesimpulan: Permen PANRB No. 73/2020 adalah respons terhadap tuntutan reformasi birokrasi dan isu lingkungan global. Implementasinya memerlukan sinergi antara K/L terkait, pemerintah daerah, dan organisasi profesi untuk memastikan keberhasilan dalam membangun SDM kehutanan yang profesional dan berintegritas.