Analisis Peraturan Menteri PANRB No. 9 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Penghulu
1. Konteks Historis dan Politik
- Reformasi Birokrasi dan ASN: Peraturan ini lahir dalam kerangka reformasi birokrasi pasca-UU ASN No. 5/2014, yang menekankan profesionalisme, meritokrasi, dan pengembangan karir PNS. Penghulu, sebagai pejabat fungsional di Kementerian Agama, perlu disesuaikan dengan standar baru ini.
- Penghapusan Aturan 2005: Peraturan sebelumnya (PER/62/M.PAN/6/2005) dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan hukum, terutama terkait penilaian angka kredit, kompetensi, dan tata kelola ASN modern.
2. Substansi Krusial yang Perlu Dipahami
- Kedudukan Penghulu dalam Sistem Hukum: Penghulu tidak hanya bertugas menikahkan, tetapi juga memiliki peran strategis dalam bimbingan masyarakat Islam dan pengembangan kepenghuluan. Ini selaras dengan UU Perkawinan No. 1/1974 dan PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS.
- Kompetensi dan Angka Kredit: Peraturan ini memperkenalkan sistem penilaian berbasis kompetensi (teknis, manajerial, sosio-kultural) dan angka kredit yang lebih transparan. Hal ini memastikan jenjang karir Penghulu berbasis kinerja, bukan senioritas.
- Peran Kementerian Agama: Meski diterbitkan KemenPANRB, instansi pembina Jabatan Fungsional Penghulu adalah Kementerian Agama. Ini menunjukkan kolaborasi lintas kementerian dalam pengelolaan ASN.
3. Implikasi Praktis
- Sertifikasi dan Diklat: Penghulu wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk meningkatkan kompetensi, termasuk pemahaman hukum keluarga Islam, mediasi, dan administrasi.
- Organisasi Profesi: Diatur pembentukan organisasi profesi Penghulu untuk menjaga standar etika dan kompetensi, mirip dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) atau organisasi profesi lainnya.
- Digitalisasi Pelayanan: Meski tidak eksplisit disebut, penekanan pada "hasil kerja" dalam angka kredit membuka ruang bagi Penghulu untuk mengadopsi teknologi dalam pelayanan (e.g., pencatatan nikah digital).
4. Tantangan Implementasi
- Konflik Kewenangan: Di daerah, kadang terjadi tumpang tindih antara Penghulu dengan pejabat catatan sipil atau adat. Perlu sinkronisasi dengan Permendagri terkait administrasi kependudukan.
- Keterbatasan Infrastruktur: Penghulu di daerah terpencil mungkin kesulitan memenuhi tuntutan angka kredit akibat akses diklat atau fasilitas yang terbatas.
5. Relasi dengan Regulasi Lain
- UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah: Kewenangan Penghulu harus selaras dengan otonomi daerah, terutama dalam alokasi anggaran dan pembinaan.
- Permenpan RB No. 38/2017 tentang Standar Kompetensi Jabatan Fungsional: Kompetensi Penghulu diatur lebih spesifik, termasuk kemampuan mediasi sengketa nikah dan pemahaman hukum waris.
6. Catatan Kritis
- Inklusivitas Gender: Peraturan ini belum secara eksplisit mengatur kuota atau afirmasi bagi perempuan dalam jabatan Penghulu, padahal kebutuhan layanan perempuan dalam sengketa rumah tangga semakin tinggi.
- Akuntabilitas Publik: Mekanisme pengaduan masyarakat terhadap kinerja Penghulu perlu diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang (e.g., nikah siri ilegal).
Kesimpulan: Permen PANRB No. 9/2019 adalah respons atas tuntutan reformasi birokrasi dan kompleksitas tugas Penghulu di era modern. Implementasinya memerlukan sinergi KemenPANRB, Kemenag, dan pemerintah daerah, serta pengawasan aktif organisasi profesi untuk memastikan tujuan regulasi tercapai.