Analisis Permenaker No. 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023
Konteks Historis
-
Evolusi Formula Upah Minimum:
- Sebelum 2015, penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) sering menimbulkan polemik karena tidak ada formula baku. Pada 2015, Permenaker No. 7/2013 direvisi melalui Permenaker No. 15/2015 yang memperkenalkan formula berbasis pertumbuhan ekonomi (PE) dan inflasi (IHK).
- Pada masa pandemi (2020-2021), pemerintah mengeluarkan Perppu No. 1/2020 (diadopsi menjadi UU No. 11/2020) yang membatalkan kenaikan UMP 2021 untuk mengurangi beban pengusaha. Kebijakan ini diperpanjang di 2022 melalui Permenaker No. 18/2022 dengan formula baru.
-
Pasca-Pandemi:
- Permenaker No. 18/2022 menjadi instrumen transisi menuju normalisasi kebijakan upah setelah 2 tahun pembatasan kenaikan UMP. Ini mencerminkan upaya menyeimbangkan pemulihan ekonomi pasca-Covid-19 dengan tuntutan kesejahteraan pekerja.
Aspek Kunci Permenaker No. 18/2022
-
Formula Penyesuaian UMP 2023:
- UMP 2023 = UMP 2022 + (Penyesuaian Nilai UMP × UMP 2022).
- Penyesuaian Nilai dihitung berdasarkan kombinasi pertumbuhan ekonomi provinsi (α) dan inflasi (β), dengan variabel bobot yang ditetapkan pemerintah.
-
Peran Tripartit:
- Keputusan akhir UMP melibatkan Dewan Pengupahan Provinsi/Kabupaten/Kota (tripartit: pemerintah, asosiasi pengusaha, serikat pekerja). Namun, pemerintah pusat memiliki kewenangan mengubah rekomendasi dewan jika dianggap mengganggu investasi.
-
Variasi Regional:
- Contoh: UMP DKI Jakarta naik 5,6% (Rp4.901.798), Jawa Barat 8,01%, dan DI Yogyakarta 7,5%. Perbedaan ini mencerminkan dinamika ekonomi lokal dan lobi politik di daerah.
Dinamika Sosio-Politik
-
Protes Serikat Pekerja:
- Organisasi seperti KSPI menilai kenaikan UMP 2023 tidak memadai untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL), terutama di tengah kenaikan harga BBM dan pangan.
- Desakan agar formula memperhitungkan indeks harga komoditas esensial (seperti energi) sempat diajukan, tetapi tidak diakomodasi.
-
Tekanan dari Pelaku Usaha:
- Asosiasi pengusaha (APINDO) mengkritik kebijakan ini karena dianggap memberatkan UMKM dan sektor padat karya. Beberapa daerah mengajukan pengecualian, tetapi ditolak pemerintah.
Tantangan Implementasi
-
Kepatuhan di Sektor Informal:
- UMP hanya berlaku untuk pekerja di perusahaan berbadan hukum. Sektor informal (43% tenaga kerja Indonesia) sering tidak tercover, memicu ketimpangan.
-
Debat tentang KHL:
- Perhitungan KHL (dasar penetapan UMP) dinilai tidak transparan. Serikat pekerja mendorong revisi Permenaker untuk memasukkan lebih banyak komponen dalam KHL, seperti akses pendidikan dan kesehatan.
-
Dampak Ekonomi Makro:
- Bank Indonesia (BI) mengkhawatirkan kenaikan UMP berpotensi memicu inflasi dan mengurangi daya saing investasi.
Poin Kritis yang Sering Diabaikan
-
Kewenangan Pemerintah Pusat vs Daerah:
- Meskipun UMP ditetapkan di tingkat provinsi, pemerintah pusat memiliki hak veto melalui mekanisme “pembinaan” jika dianggap melanggar kepentingan nasional (Pasal 6 Permenaker).
-
Penghitungan Variabel α dan β:
- Nilai α (pertumbuhan ekonomi) dan β (inflasi) tidak selalu merefleksikan kondisi riil di lapangan, terutama di daerah dengan struktur ekonomi unik (misalnya: Bali yang bergantung pada pariwisata).
-
Sanksi untuk Pelanggar:
- Perusahaan yang tidak membayar UMP bisa dikenai sanksi pidana (Pasal 185 UU No. 11/2020), tetapi penegakan hukum masih lemah karena rendahnya jumlah pengawasan ketenagakerjaan.
Rekomendasi Strategis
- Pemerintah: Perlu memperkuat dialog tripartit dan mempertimbangkan indeks regional dalam formula.
- Serikat Pekerja: Advokasi transparansi perhitungan KHL dan perluasan cakupan UMP ke sektor informal.
- Pengusaha: Optimalisasi insentif fiskal untuk UMKM agar mampu memenuhi UMP.
Permenaker No. 18/2022 mencerminkan kompleksitas kebijakan upah di Indonesia, di mana kepentingan ekonomi, politik, dan keadilan sosial saling bersinggungan.