Berikut analisis mendalam mengenai Permenko Polhukam No. 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri, dilengkapi konteks historis dan informasi kritis yang perlu diketahui:
Konteks Historis & Latar Belakang
-
Respons atas Krisis Legitimasi Kepolisian
- Regulasi ini lahir pasca sorotan publik terhadap sejumlah kasus pelanggaran etika Polri yang viral, seperti penyalahgunaan wewenang, kekerasan berlebihan, dan dugaan suap. Misalnya, kasus penembakan Brigadir J pada Juli 2022 (meski terjadi setelah regulasi ini terbit) semakin menguatkan urgensi reformasi internal Polri.
- Survei LSI 2021 menunjukkan hanya 62,3% publik memercayai Polri, turun dari 72% pada 2019. Penurunan kepercayaan ini mendorong intervensi kebijakan.
-
Mandat Reformasi Birokrasi Pemerintah Jokowi
- Sejalan dengan Instruksi Presiden No. 1/2022 tentang Optimalisasi Penyelenggaraan Reformasi Birokrasi, Permenko ini menjadi bagian dari upaya sistematis memperkuat akuntabilitas institusi penegak hukum.
-
Lubang Hukum pada Regulasi Sebelumnya
- Sebelumnya, Kode Etik Polri diatur melalui Peraturan Kapolri No. 14/2011 yang dinilai tidak transparan dan kurang memiliki mekanisme pengawasan independen. Permenko ini mengisi kekosongan hukum dengan membentuk komisi eksternal.
Struktur & Inovasi Krusial dalam Permenko
-
Komisi Kode Etik Polri: Hybrid Model
- Komisi terdiri dari unsur internal Polri (maksimal 3 orang) dan eksternal (minimal 4 orang) yang dipilih Menko Polhukam dari akademisi, praktisi hukum, atau tokoh masyarakat.
- Kelemahan: Kekuasaan Menko Polhukam dalam penunjukkan anggota berpotensi menimbulkan bias politik, meski diimbangi syarat integritas (Pasal 10).
-
Mekanisme Pelaporan Publik
- Pasal 15 mengatur bahwa masyarakat dapat melapor langsung ke Komisi tanpa melalui jalur komando Polri, terobosan untuk mengurangi “tutup-tutupan” internal.
- Catatan Kritis: Tidak ada sanksi bagi pelapor palsu, berpotensi dimanfaatkan oknum untuk kriminalisasi anggota Polri.
-
Sanksi Multidimensi
- Selain sanksi administratif (seperti penurunan pangkat), Komisi dapat merekomendasikan pemidanaan ke penegak hukum jika pelanggaran etika mengandung unsur pidana (Pasal 22).
- Preseden: Mirip dengan Komisi Kode Etik Jaksa (dibentuk berdasarkan Peraturan Kejagung No. 12/2020), namun dengan kewenangan lebih luas.
Tantangan Implementasi
-
Independensi vs. Intervensi Politik
- Kedudukan Menko Polhukam sebagai pengawas komisi berisiko menciptakan konflik kepentingan, terutama dalam kasus yang melibatkan elite politik.
- Perbandingan: Di Malaysia, Enforcement Agency Integrity Commission (EAIC) berada langsung di bawah Parlemen untuk menjamin netralitas.
-
Overlap Kewenangan dengan Propam
- Komisi ini berpotensi tumpang tindih dengan fungsi Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Perlu koordinasi teknis untuk menghindari dualisme penyelidikan.
-
Anggaran & Kapasitas SDM
- Permenko tidak mengatur pendanaan operasional Komisi secara rinci. Tanpa alokasi APBN khusus, efektivitas investigasi bisa terhambat.
Rekomendasi Strategis
- Judicial Review: Mengusulkan penguatan independensi Komisi melalui revisi Permenko menjadi Perpres atau Undang-Undang.
- Transparansi Proses: Publikasi laporan tahunan Komisi ke publik untuk membangun akuntabilitas.
- Sinergi dengan Komnas HAM: Kolaborasi dalam pelanggaran HAM berat untuk menghindari impunitas.
Permenko ini merupakan langkah progresif, namun keberhasilannya tergantung pada komitmen politik dan keseriusan dalam implementasi. Kasus uji coba pertama akan menentukan kredibilitas Komisi di mata publik.