Analisis Terhadap PP No. 32 Tahun 2017 tentang Jenis dan Tarif PNBP pada BPOM
Berikut konteks historis dan informasi tambahan yang relevan dengan terbitnya PP No. 32 Tahun 2017:
1. Latar Belakang Historis
- Reformasi Birokrasi dan Optimalisasi PNBP: PP ini lahir dalam rangka menyelaraskan kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan reformasi birokrasi di era Presiden Joko Widodo. Tujuannya meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan BPOM, sekaligus memastikan layanan pengawasan obat dan makanan tetap berkualitas.
- Penggantian PP No. 48 Tahun 2013: Sebelumnya, tarif PNBP BPOM diatur dalam PP No. 48 Tahun 2013. PP No. 32/2017 merevisi beberapa ketentuan untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan layanan, inflasi, serta kompleksitas pengawasan produk kesehatan.
2. Konteks Regulasi Terkait
- UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: Pasca penguatan otonomi daerah, BPOM sebagai lembaga pusat perlu memiliki dasar hukum yang jelas untuk menarik PNBP, mengingat layanannya bersifat nasional dan lintas wilayah.
- UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law): PP No. 32/2017 menjadi salah satu dasar penyesuaian tarif PNBP sektor kesehatan dalam kerangka Omnibus Law, terutama untuk mempercepat perizinan berusaha.
3. Tujuan Kebijakan
- Mendorong Investasi dan Perlindungan Konsumen: Dengan menetapkan tarif yang proporsional, PP ini bertujuan menyeimbangkan antara kemudahan berusaha (khususnya bagi industri farmasi dan pangan) dengan penguatan pengawasan produk berisiko tinggi (seperti obat keras, suplemen, dan makanan kemasan).
- Peningkatan Kapasitas BPOM: PNBP dari tarif ini dialokasikan untuk penguatan infrastruktur laboratorium, sistem pengawasan digital, dan peningkatan kompetensi SDM BPOM.
4. Kontroversi dan Catatan Kritis
- Kenaikan Tarif yang Signifikan: Beberapa pelaku usaha mengkritik kenaikan tarif tertentu (misalnya, registrasi obat baru) yang dinilai memberatkan UMKM. Namun, pemerintah beralasan kenaikan diperlukan untuk menutup biaya pengujian produk yang semakin kompleks.
- Eksklusi untuk Kesehatan Publik: PP ini memberi pengecualian tarif untuk layanan terkait penanganan darurat kesehatan (misalnya, registrasi obat penyakit langka atau bencana), yang menunjukkan komitmen perlindungan kesehatan masyarakat.
5. Harmonisasi dengan Standar Internasional
- Referensi ke WHO dan CODEX Alimentarius: Tarif dan jenis layanan dalam PP ini disusun dengan mempertimbangkan standar internasional, seperti persyaratan keamanan pangan (CODEX) dan pengawasan obat (WHO). Hal ini memperkuat daya saing produk Indonesia di pasar global.
6. Perubahan Pasca-Penerbitan
- Penyesuaian melalui PP No. 28 Tahun 2020: Beberapa ketentuan dalam PP No. 32/2017 diubah melalui PP No. 28 Tahun 2020 untuk menyederhanakan tarif dan memperluas cakupan layanan BPOM, termasuk pengenaan PNBP untuk produk e-commerce.
Kesimpulan
PP No. 32/2017 mencerminkan upaya pemerintah untuk memperkuat peran BPOM sebagai regulator kritis di sektor kesehatan, dengan tetap menjaga keseimbangan antara penerimaan negara dan kepentingan pelaku usaha serta masyarakat. Pemahaman atas konteks ini penting bagi klien yang bergerak di industri farmasi, pangan, atau kosmetik untuk mengoptimalkan kepatuhan dan strategi bisnis.