Sebagai advokat yang berpengalaman, berikut analisis mendalam mengenai PP No. 35 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif PNBP di Kementerian Pertanian beserta konteks historis dan informasi kritis yang perlu diketahui:
Konteks Historis & Tujuan Pembentukan
-
Latar Belakang Ekonomi-Politik
PP ini diterbitkan pada era pemerintahan Jokowi-JK (2014–2019) yang fokus pada peningkatan investasi di sektor pertanian dan modernisasi agribisnis. Kebijakan ini sejalan dengan program strategis seperti swasembada pangan (beras, jagung, kedelai) dan penguatan industri benih/pupuk.- Isu Utama: Sebelum 2016, tarif PNBP sektor pertanian dianggap tidak tertib, tumpang tindih, dan kurang menyesuaikan biaya layanan (misal: sertifikasi benih, karantina).
-
Harmonisasi Regulasi
PP ini mengamankan mandat UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, yang memerlukan penyesuaian tarif sesuai perkembangan ekonomi.
Substansi Krusial yang Perlu Dipahami
-
Jenis PNBP yang Diatur
- Layanan Publik: Sertifikasi mutu benih, pengujian laboratorium, inspeksi karantina tumbuhan.
- Izin Komersial: Izin edar pestisida, pembukaan lahan pertanian skala besar.
- Kompensasi: Pemanfaatan sumber daya genetika pertanian untuk riset/komersialisasi.
-
Tarif Proporsional
Tarif dibedakan berdasarkan skala usaha (misal: tarif sertifikasi benih untuk perusahaan besar vs. UMKM) untuk melindungi petani kecil. Contoh:- Sertifikasi benih padi: Rp 50.000–Rp 500.000 per varietas.
- Pengujian residu pestisida: Rp 1–5 juta per sampel.
Alasan Pencabutan (Status "Tidak Berlaku")
PP ini dicabut oleh PP No. 27 Tahun 2021 karena:
- Penyesuaian Tarif: Inflasi dan kebutuhan optimalisasi penerimaan negara.
- Simplifikasi Birokrasi: Menghapus jenis PNBP yang dianggap menghambat investasi (misal: biaya perizinan ekspor produk hortikultura).
- Respons Terhadap Perkembangan Teknologi: Misal, tarif layanan digital (e-certification, tracking sistem karantina).
Implikasi Hukum & Praktis
- Transaksi Masa Lalu: PNBP yang telah dibayar sebelum 2021 tetap sah secara hukum.
- Risiko Sengketa: Jika Kementan masih menggunakan tarif PP 35/2016 setelah 2021, dapat dianggap penarikan PNBP tidak sah (pasal 23 UU APBN).
- Perlindungan Petani: PP 27/2021 mempertegas subsidi tarif PNBP untuk petani miskin/berdaftar dalam program pemerintah (misal: Kartu Tani).
Rekomendasi Strategis
- Due Diligence: Pastikan transaksi PNBP pascapencabutan merujuk ke PP 27/2021.
- Gugatan Administratif: Jika ada kelebihan pembayaran PNBP berdasarkan PP 35/2016, ajukan permohonan pengembalian (restitusi) ke Kementan.
- Advokasi Kebijakan: Dorong revisi tarif PNBP yang memberatkan industri pertanian padat karya melalui judicial review atau DPR RI.
Catatan Penting: Selalu cross-check dengan Peraturan Menteri Pertanian turunan (misal: Permentan No. 40/2018 tentang Tata Cara PNBP) untuk menghindari kesalahan interpretasi.