Analisis PP No. 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja, dan PHK
1. Konteks Historis dan Politik
- PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11/2020) yang kontroversial. UU Cipta Kerja dirancang untuk menyederhanakan regulasi guna menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja, tetapi menuai protes karena dianggap mengurangi perlindungan pekerja.
- PP No. 35/2021 menjadi instrumen untuk mengimplementasikan Pasal 81 dan 185 UU Cipta Kerja, khususnya terkait hubungan industrial yang fleksibel.
2. Perubahan Signifikan dari Regulasi Sebelumnya
-
PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu):
- Sebelumnya diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP No. 35/2021, PKWT hanya boleh untuk pekerjaan yang sifatnya sementara. PP ini memperluas ruang lingkup PKWT dengan:
- Memperbolehkan PKWT berdasarkan jangka waktu (maksimal 5 tahun) atau selesainya pekerjaan tertentu.
- Memungkinkan perpanjangan PKWT hingga 2 kali (maksimal 2 tahun per perpanjangan).
- Memberikan uang kompensasi bagi pekerja PKWT yang berakhir sebelum waktunya (minimal setara upah 1 bulan).
- Kritik: Fleksibilitas ini berpotensi meningkatkan praktik kerja kontrak jangka panjang tanpa kepastian status tetap.
- Sebelumnya diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP No. 35/2021, PKWT hanya boleh untuk pekerjaan yang sifatnya sementara. PP ini memperluas ruang lingkup PKWT dengan:
-
Alih Daya (Outsourcing):
- PP ini mewajibkan perusahaan alih daya memiliki perizinan berusaha dan menjamin hak pekerja alih daya setara dengan pekerja di perusahaan pengguna jasa.
- Sebelumnya, alih daya hanya diperbolehkan untuk pekerjaan penunjang (seperti kebersihan atau keamanan). PP ini memperluas cakupan ke pekerjaan inti, asal memenuhi syarat perizinan.
- Tantangan: Risiko eksploitasi pekerja jika pengawasan perizinan lemah.
-
Waktu Kerja dan Istirahat:
- Mengatur sektor usaha tertentu (misal: energi, konstruksi) yang boleh menerapkan waktu kerja fleksibel atau istirahat panjang (misal: libur panjang setelah proyek selesai).
- Lembur: Upah lembur dihitung berdasarkan persentase upah pokok + tunjangan tetap, berbeda dengan aturan sebelumnya yang hanya berdasarkan upah pokok.
-
PHK (Pemutusan Hubungan Kerja):
- Prosedur PHK harus melalui musyawarah bipartit terlebih dahulu. Jika gagal, pengusaha wajib mengajukan penetapan PHK ke Dinas Ketenagakerjaan.
- Uang pesangon dan penghargaan masa kerja tetap dipertahankan, tetapi dengan skema perhitungan yang lebih terstruktur.
3. Kontroversi dan Tantangan Implementasi
- Protes Buruh: Serikat pekerja menilai PP ini melemahkan posisi tawar pekerja, khususnya dalam hal PHK dan fleksibilitas PKWT.
- Potensi Penyalahgunaan: Perlu pengawasan ketat terhadap perusahaan alih daya dan kepatuhan pembayaran kompensasi PKWT.
- Sektor Informal: Aturan ini belum sepenuhnya menjawal persoalan pekerja informal yang dominan di Indonesia.
4. Perbandingan dengan Regulasi Lama
- PP No. 78/2015 tentang Waktu Kerja dan Istirahat dicabut dan diganti dengan PP ini. Perbedaan utama terletak pada fleksibilitas waktu kerja sektor tertentu dan skema lembur.
- Perlindungan Pekerja Alih Daya: PP No. 35/2021 lebih tegas dalam menyamakan hak pekerja alih daya dengan pekerja tetap, berbeda dengan aturan sebelumnya yang ambigu.
5. Implikasi bagi Pengusaha dan Pekerja
- Pengusaha: Dapat mengoptimalkan efisiensi tenaga kerja melalui PKWT dan alih daya, tetapi wajib memenuhi kompensasi dan perizinan.
- Pekerja: Meski ada jaminan kompensasi, risiko ketidakpastian kerja tetap tinggi, terutama di sektor yang mengandalkan PKWT.
6. Catatan Hukum
- PP ini telah diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) bersama UU Cipta Kerja. MK memutuskan bahwa PP tetap berlaku dengan syarat pemerintah harus merevisi sebagian ketentuan yang dinilai inkonstitusional.
Rekomendasi:
- Pekerja dan pengusaha perlu memahami batasan waktu PKWT, syarat alih daya, dan prosedur PHK untuk menghindari sengketa.
- Konsultasi dengan ahli hukum ketenagakerjaan disarankan untuk menyesuaikan kontrak kerja dengan PP ini.
PP No. 35/2021 mencerminkan upaya pemerintah menyeimbangkan fleksibilitas pasar kerja dan perlindungan pekerja, tetapi efektivitasnya sangat bergantung pada implementasi dan pengawasan yang ketat.