Analisis Hukum Terhadap PP No. 69 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Tarif atas Jenis PNBP
Konteks Historis
-
Latar Belakang Reformasi PNBP
PP No. 69/2020 merupakan turunan dari UU No. 9 Tahun 2018 tentang PNBP, yang menjadi tonggak reformasi pengelolaan penerimaan negara di luar pajak. Sebelum 2018, aturan PNBP tersebar di berbagai peraturan sektoral, menyebabkan tumpang tindih dan inefisiensi. UU No. 9/2018 hadir untuk menyatukan kerangka hukum PNBP, dan PP ini menjadi instrumen teknis untuk operasionalisasi penetapan tarif. -
Dorongan Peningkatan Pendapatan Negara
PP ini lahir dalam konteks upaya pemerintah meningkatkan kontribusi PNBP terhadap APBN. Pada 2020, PNBP menyumbang sekitar 15-20% dari total pendapatan negara, dengan sektor sumber daya alam (seperti migas dan minerba) sebagai kontributor utama. PP No. 69/2020 dirancang untuk memastikan penetapan tarif PNBP dilakukan secara transparan, terukur, dan akuntabel.
Informasi Tambahan yang Kritis
-
Keterkaitan dengan Omnibus Law
Meski terbit sebelum UU Cipta Kerja (Omnibus Law), PP No. 69/2020 selaras dengan semangat efisiensi birokrasi dan kemudahan berusaha. Misalnya, mekanisme penetapan tarif Rp0 atau 0% (Pasal 6) dapat digunakan untuk sektor strategis (sektor pendidikan/kesehatan) guna mendukung kebijakan publik. -
Peran Kementerian/Lembaga Pengelola PNBP
PP ini mempertegas tanggung jawab Instansi Pengelola PNBP (seperti Kementerian ESDM, KKP, atau LNSW) untuk mengusulkan tarif berdasarkan analisis biaya layanan, nilai ekonomi, dan dampak sosial. Proses ini menghindari tarif yang semena-mena atau tidak kompetitif. -
Implikasi pada Sektor Swasta dan BUMN
- RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) disebut sebagai mekanisme penetapan tarif untuk PNBP yang dikelola BUMN. Ini menegaskan prinsip korporasi dalam pengelolaan PNBP oleh BUMN.
- Tarif PNBP yang diatur dalam kontrak/kemitraan (misalnya kontrak migas atau minerba) tetap harus melalui koordinasi dengan Menteri Keuangan, sehingga tidak bertentangan dengan kepentingan fiskal negara.
-
Fleksibilitas dan Risiko
- Penetapan tarif 0% berpotensi dimanfaatkan untuk insentif sektor tertentu, tetapi juga berisiko jika tidak disertai evaluasi ketat (misal: potensi penyalahgunaan untuk pengurangan kewajiban PNBP).
- Mekanisme evaluasi setiap 2 tahun (Pasal 7) memastikan tarif tetap relevan dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah.
Tantangan Implementasi
-
Koordinasi Antarinstansi
Instansi Pengelola PNBP perlu memiliki kapasitas teknis dan data memadai untuk menyusun usulan tarif. Misalnya, penetapan tarif PNBP di sektor kelautan memerlukan koordinasi kompleks antara KKP, Kemenkeu, dan pemerintah daerah. -
Potensi Konflik dengan Kontrak Existing
Tarif PNBP yang diatur dalam kontrak investasi (seperti PKP2B migas atau IUP minerba) harus diselaraskan dengan PP ini. Jika tidak, berpotensi memicu sengketa hukum atau tuntutan kompensasi dari investor. -
Transparansi Publik
Meski PP mewajibkan evaluasi, publikasi data PNBP (seperti realisasi tarif dan penggunaan dana) masih perlu ditingkatkan untuk memastikan akuntabilitas.
Rekomendasi Strategis untuk Klien
- Sektor Sumber Daya Alam: Pastikan tarif PNBP (seperti royalti minerba) telah melalui analisis nilai ekonomi dan disesuaikan dengan harga komoditas global.
- BUMN/BUMD: Manfaatkan mekanisme RUPS untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis dan kewajiban PNBP.
- Pelaku Usaha: Tinjau kontrak kerja sama yang melibatkan PNBP untuk memastikan kesesuaian dengan PP ini dan hindari risiko penyesuaian tarif sepihak.
PP No. 69/2020 mencerminkan upaya sistematis pemerintah dalam memperkuat basis pendapatan negara, tetapi implementasinya memerlukan sinergi antarpemangku kepentingan dan pengawasan publik yang aktif.