Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dilengkapi konteks historis dan informasi kritis yang perlu diketahui:
Latar Belakang Historis
-
Kekosongan Hukum yang Berkepanjangan
- Sebelum UU TPKS, Indonesia hanya memiliki aturan parsial (KUHP, UU KDRT, UU Perlindungan Anak) yang tidak secara spesifik mengatur kekerasan seksual secara holistik.
- Kasus seperti pemerkosaan, pelecehan seksual non-fisik, pemaksaan kontrasepsi, atau eksploitasi seksual seringkali sulit dijerat karena definisi hukum yang sempit.
-
Desakan Aktivis & Tragedi Memicu Reformasi
- Advokasi oleh Komnas Perempuan, LBH Apik, dan koalisi masyarakat sipil sejak 2010-an.
- Kasus tragis (misal: perkosaan berjemaah di Bengkulu 2016, kematian Yuyun 2015) menjadi momentum politik untuk percepatan pengesahan.
-
Proses Legislatif yang Alot
- RUU TPKS sempat mandek 10 tahun (2012–2022) akibat resistensi kelompok konservatif yang khawatir UU ini melegalkan "zina" atau LGBT.
- Kompromi akhir: Penghapusan frasa "kekerasan berbasis gender" dan fokus pada aspek pidana murni.
Inovasi Hukum dalam UU TPKS
-
9 Bentuk Tindak Pidana Baru
Termasuk sexual harassment non-fisik (Pasal 4), sexual exploitation (Pasal 5), pemaksaan kontrasepsi (Pasal 7), dan pemaksaan perkawinan akibat kekerasan seksual (Pasal 8). -
Mekanisme Perlindungan Korban Revolusioner
- Restitusi wajib dari pelaku (Pasal 34) dan Dana Bantuan Korban dari negara (Pasal 36).
- Larangan pertanyaan reviktimisasi (misal: "Apa pakaian korban saat kejadian?") selama proses hukum (Pasal 27).
-
Pencegahan Berbasis Institusi
Institusi pendidikan, kantor, dan layanan publik wajib memiliki SOP pencegahan kekerasan seksual (Pasal 15).
Tantangan Implementasi
-
Resistensi Budaya Patriarki
- Pemahaman keluarganya sebagai "aib" masih kuat di masyarakat, menghambat pelaporan.
- Keterbatasan SDM aparat penegak hukum yang memahami perspektif korban.
-
Kerumitan Pembuktian
Kekerasan seksual sering terjadi tanpa saksi (Pasal 19). UU ini mengakui alat bukti elektronik (Pesan WA, rekaman CCTV) namun perlu standardisasi teknis. -
Anggaran Terbatas
Pembentukan Dana Bantuan Korban (Pasal 36) bergantung pada APBN/APBD, berisiko tidak prioritas di daerah.
Signifikansi Global
- UU TPKS sejalan dengan Konvensi CEDAW (1979) dan Sustainable Development Goals (SDG 5 tentang kesetaraan gender) yang telah diratifikasi Indonesia.
- Menjadi acuan bagi negara ASEAN lain (Filipina, Malaysia) yang masih bergulat dengan RUU serupa.
Rekomendasi Strategis untuk Klien
-
Edukasi Preventif di Institusi
Bentuk tim respons cepat dan sosialisasi UU TPKS di lingkungan kerja/lembaga pendidikan. -
Dokumentasi Bukti Elektronik
Simpan bukti digital (pesan, email, rekaman) secara sistematis untuk kebutuhan hukum. -
Kolaborasi dengan Lembaga Pendukung
Manfaatkan jaringan LBH Apik, Komnas Perempuan, atau Ruang Aman untuk pendampingan hukum psikologis.
UU TPKS merupakan terobosan monumental, namun efektivitasnya bergantung pada keseriusan seluruh pemangku kepentingan dalam mengubah paradigma sosial dan penegakan hukum yang berkeadilan gender.