Analisis Terhadap UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Berikut konteks historis dan informasi tambahan yang perlu diketahui terkait UU ini:
1. Konteks Ekonomi-Politik 1997
- UU ini lahir pada masa akhir pemerintahan Orde Baru (Soeharto) ketika Indonesia menghadapi krisis ekonomi Asia yang mulai berdampak pada defisit anggaran dan penurunan penerimaan negara.
- Pemerintah berupaya memperkuat instrumen penagihan pajak untuk menjaga stabilitas fiskal, terutama karena sistem perpajakan saat itu masih lemah dalam kepatuhan wajib pajak.
2. Reformasi Administrasi Perpajakan
- UU ini merupakan respons atas ketidakefektifan penagihan pajak sebelumnya. Sebelum 1997, penagihan pajak seringkali terhambat oleh prosedur hukum yang berbelit dan kurangnya kewenangan eksekutif.
- Surat Paksa (SP) diperkenalkan sebagai instrumen ultimum remedium (upaya terakhir) untuk memastikan kepatuhan wajib pajak, dengan memberikan kewenangan khusus kepada Jurusita Pajak untuk melakukan penyitaan, penyanderaan (gijzeling), atau lelang aset wajib pajak yang menunggak.
3. Perubahan Paradigma Hukum
- UU ini mengadopsi prinsip "self-assessment system" yang mulai diterapkan dalam reformasi perpajakan Indonesia sejak 1983. Namun, ia juga mempertegas peran negara sebagai "creditor preferent" (kreditur preferen) yang memiliki hak mendahului dalam penagihan utang pajak.
- Surat Paksa memiliki kekuatan eksekusi yang setara dengan putusan pengadilan, sehingga menghilangkan kebutuhan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan umum. Ini mempercepat proses penagihan.
4. Kritik dan Kontroversi
- UU ini dianggap "otoriter" oleh sebagian pihak karena memberikan kewenangan ekstrajudisial kepada fiskus tanpa mekanisme pengawasan yang memadai.
- Praktik gijzeling (penahanan wajib pajak) kerap menuai protes karena dinilai melanggar HAM, meski dalam UU dibatasi hanya untuk kasus tertentu.
5. Perkembangan Setelah Reformasi 1998
- Pasca-Reformasi, UU ini tetap dipertahankan tetapi diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000 untuk menyesuaikan prinsip transparansi dan perlindungan hak wajib pajak.
- Pada 2020, mekanisme Surat Paksa diintegrasikan ke dalam UU Cipta Kerja (No. 11 Tahun 2020) dengan penyederhanaan prosedur dan digitalisasi proses penagihan.
6. Signifikansi Hingga Kini
- UU No. 19/1997 menjadi fondasi sistem penagihan pajak modern di Indonesia. Konsep Surat Paksa tetap relevan, meski kini lebih dikombinasikan dengan pendekatan persuasif (misalnya: program pengampunan pajak/TAX Amnesty).
Catatan Penting:
- Meski telah diubah, filosofi UU ini masih tercermin dalam praktik penagihan aktif oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengejar target penerimaan negara, terutama dalam situasi defisit APBN.
Sebagai advokat, penting untuk memastikan klien memahami hak banding (keberatan/banding) dan opsi restrukturisasi utang pajak sebelum Surat Paksa diterbitkan.