Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur prosedur pembuatan, pengesahan, pemberlakuan, dan pengakhiran perjanjian internasional Indonesia. Pengesahan dilakukan melalui undang-undang untuk materi kritis (politik, pertahanan, wilayah, hak asasi manusia, pembentukan kaidah hukum baru) dan melalui keputusan presiden untuk materi lainnya. Perjanjian teknis berlaku sejak penandatanganan tanpa pengesahan. Penandatanganan memerlukan Surat Kuasa, kecuali Presiden atau Menteri. Perjanjian dapat diakhiri melalui kesepakatan pihak, pencapaian tujuan, perubahan mendasar, atau kerugian kepentingan nasional.
Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Status: Berlaku
Ringkasan Peraturan
Meridian AI bisa salah. Cek konten penting.
Konteks dari Meridian
Analisis Terhadap UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Berikut konteks historis dan informasi tambahan terkait UU ini yang perlu diketahui:
1. Konteks Reformasi dan Keterbukaan
- UU ini lahir pada masa transisi Reformasi 1998, di mana Indonesia berkomitmen memperkuat tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel, termasuk dalam hubungan internasional.
- Sebelumnya, proses pengesahan perjanjian internasional diatur secara tidak komprehensif (misalnya, melalui Keppres atau praktik ad hoc), sehingga kerap menimbulkan ketidakpastian hukum. UU No. 24/2000 hadir untuk mengisi kekosongan ini.
2. Pengaruh Perubahan Politik dan Hukum
- Pasca Reformasi, Indonesia semakin aktif dalam kerja sama global (misalnya: perdagangan, HAM, lingkungan). UU ini menjadi payung hukum untuk memastikan setiap perjanjian internasional selaras dengan kepentingan nasional dan konstitusi.
- UU ini juga mempertegas peran DPR dalam proses ratifikasi perjanjian yang menyangkut hal strategis (misalnya: kedaulatan, HAM, lingkungan), mencerminkan prinsip checks and balances pasca-amandemen UUD 1945.
3. Klasifikasi dan Prosedur yang Diatur
- UU ini membedakan perjanjian internasional berdasarkan bentuk (traktat, persetujuan, MoU) dan substansi (politik, ekonomi, perdamaian).
- Prosedur ratifikasi dijelaskan secara rinci, mulai dari tahap negosiasi, penandatanganan, hingga pengesahan oleh Presiden setelah konsultasi dengan DPR (untuk perjanjian kategori tertentu).
- Diatur pula kewajiban pendaftaran perjanjian ke Sekretariat PBB (Pasal 10), sesuai dengan Pasal 102 Piagam PBB, untuk memastikan transparansi dan keberlakuan di forum internasional.
4. Signifikansi dalam Praktik
- UU ini menjadi dasar hukum ratifikasi perjanjian strategis, seperti:
- Konvensi PBB Anti-Korupsi (UNCAC) 2003.
- Perjanjian Batas Maritim dengan Singapura dan Malaysia.
- Kesepakatan perdagangan bebas ASEAN (AFTA).
- UU ini juga mendorong harmonisasi hukum nasional dengan komitmen internasional, misalnya dalam isu perlindungan pekerja migran dan perubahan iklim.
5. Hubungan dengan Regulasi Lain
- UU No. 24/2000 diperkuat oleh UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yang mengatur peran Kementerian Luar Negeri dalam negosiasi.
- Pada 2014, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan mengatur lebih spesifik ratifikasi perjanjian ekonomi, namun tetap merujuk pada prosedur UU No. 24/2000.
6. Tantangan Implementasi
- Koordinasi antarlembaga (Kemenlu, Kemenkumham, kementerian teknis) kerap menjadi kendala, terutama untuk perjanjian yang kompleks.
- Overlap kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam implementasi perjanjian internasional (misalnya: investasi atau lingkungan).
Kesimpulan
UU No. 24/2000 mencerminkan komitmen Indonesia dalam tata kelola global yang terstruktur sekaligus melindungi kedaulatan hukum nasional. Keberadaannya menjadi fondasi bagi diplomasi modern Indonesia yang semakin dinamis dan multidimensional.
Meridian AI bisa salah. Cek konten penting.
Metadata
Uji Materi
Menyatakan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenisjenis perjanjian internasional sebagaimana disebutkan pada huruf a sampai dengan huruf f dalam Pasal a quo itulah yang mempersyaratkan persetujuan DPR sehingga hanya jenis-jenis perjanjian tersebut yang pengesahannya dilakukan dengan undang-undang;