Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Status: Berlaku

Ringkasan Peraturan

Generated by Meridian AI

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menetapkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi. Penanggulangan bencana dilaksanakan dalam tiga tahapan: prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana. Dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk mengoordinasikan kegiatan penyelenggaraan sesuai kewenangan. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam UU ini dikenai sanksi pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp12 miliar.

Meridian AI bisa salah. Cek konten penting.

Konteks dari Meridian

Generated by Meridian AI

Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:


Konteks Historis Pembentukan UU Ini

  1. Pemicu Utama:
    UU ini lahir pascabencana tsunami Aceh 2004 yang menewaskan ±230.000 orang di 14 negara, termasuk Indonesia. Bencana ini menyadarkan pemerintah bahwa Indonesia (sebagai wilayah rawan bencana) tidak memiliki kerangka hukum terpadu untuk penanggulangan bencana. Sebelum 2007, penanganan bencana hanya bersifat reaktif dan tersebar di berbagai instansi (seperti Bakornas PB) tanpa koordinasi jelas.

  2. Krisis Yogyakarta 2006:
    Gempa Yogyakarta (2006) dengan korban 5.700+ jiwa semakin mempertegas urgensi regulasi yang mengatur mitigasi, tanggap darurat, dan rehabilitasi terintegrasi.

  3. Perubahan Paradigma Global:
    UU ini mengadopsi Hyogo Framework for Action 2005–2015 yang menekankan pengurangan risiko bencana (PRB) sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan.


Inovasi Kunci dalam UU No. 24/2007

  1. Siklus Penanggulangan Bencana Terstruktur:
    Membagi penanganan bencana ke dalam 3 fase:

    • Pra-bencana (mitigasi, kesiapsiagaan),
    • Tanggap Darurat (evakuasi, logistik),
    • Pasca-bencana (rehabilitasi, rekonstruksi).
      Ini merupakan terobosan karena sebelumnya fokus hanya pada tanggap darurat.
  2. Dana Siap Pakai (DSP):
    Mengatur alokasi dana darurat dari APBN/APBD yang bisa langsung dicairkan tanpa prosedur birokrasi panjang. DSP menjadi penyelamat dalam kasus seperti gempa Lombok (2018) dan tsunami Selat Sunda (2018).

  3. Pembentukan BNPB:
    UU ini menjadi dasar hukum pendirian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan BPBD di tingkat daerah, yang menggantikan Bakornas PB yang kurang efektif.

  4. Partisipasi Masyarakat:
    Pasal 26 secara eksplisit mewajibkan pelibatan masyarakat dalam perencanaan penanggulangan bencana, termasuk kearifan lokal (misalnya smong di Simeulue untuk mitigasi tsunami).


Tantangan Implementasi

  1. Koordinasi Vertikal-Horizontal:
    Meski BNPB/BPBD ada, koordinasi antarlembaga (TNI, Polri, Kementerian PUPR, dll.) sering tumpang-tindih, terutama di daerah dengan kapasitas terbatas.

  2. Alokasi Anggaran:
    Dana DSP sering tidak memadai untuk bencana berskala besar. Contoh: Bencana Palu 2018 membutuhkan dana Rp 18 triliun, sementara DSP saat itu hanya Rp 4 triliun.

  3. Penegakan Hukum:
    Masih maraknya pelanggaran tata ruang (misalnya pembangunan di daerah rawan longsor) karena lemahnya pengawasan.


Perkembangan Pasca-UU No. 24/2007

  1. Revisi UU No. 11/2018:
    Memperluas definisi bencana non-alam (termasuk pandemi COVID-19) dan memperkuat mekanisme pendanaan melalui Badan Layanan Umum (BLU) BNPB.

  2. Kebijakan Turunan:

    • PP No. 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana,
    • PP No. 22/2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana.
  3. Inisiatif Internasional:
    Indonesia menjadi salah satu penggagas ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER).


Catatan Kritis untuk Stakeholder

  • Pemerintah Daerah: Wajib mengalokasikan minimal 1% APBD untuk PRB (diatur dalam Permendagri No. 33/2019), tetapi implementasi masih rendah.
  • LSM dan Swasta: Perlu sinergi dalam pemanfaatan teknologi (seperti sistem peringatan dini BMKG) dan CSR untuk program mitigasi.
  • Masyarakat: Edukasi berbasis komunitas (contoh: Destana/Desa Tangguh Bencana) harus diperkuat untuk mengurangi ketergantungan pada respons pusat.

UU No. 24/2007 menjadi landasan hukum transformatif yang mengubah paradigma Indonesia dari sekadar "menanggulangi" menjadi "mengelola risiko bencana". Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada komitmen politik, alokasi anggaran berkelanjutan, dan partisipasi aktif seluruh elemen bangsa.

Meridian AI bisa salah. Cek konten penting.

Materi Pokok Peraturan

Undang-undang ini mengatur mengenai pokok-pokok berupa penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada tahap pra bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana, karena masing-masing tahapan mempunyai karakteristik penanganan yang berbeda; pada saat tanggap darurat, kegiatan penanggulangan bencana selain didukung dana APBN dan APBD juga disediakan dana siap pakai dengan pertanggungjawaban melalui mekanisme khusus; dan pengawasan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.

Metadata

TentangPenanggulangan Bencana
Tipe DokumenPeraturan Perundang-undangan
Nomor24
BentukUndang-undang (UU)
Bentuk SingkatUU
Tahun2007
Tempat PenetapanJakarta
Tanggal Penetapan26 April 2007
Tanggal Pengundangan26 April 2007
Tanggal Berlaku26 April 2007
SumberLN.2007/NO.66, TLN NO.4723, LL SETNEG : 34 HLM
SubjekBANTUAN, SUMBANGAN, BENCANA/KEBENCANAAN, DAN PENANGGULANGAN BENCANA
BahasaBahasa Indonesia
LokasiPemerintah Pusat

Network Peraturan

Loading network graph...

Dokumen

AI Khusus Hukum.
Akurat, Mendetil, dan Gratis!
Lebih akurat dari ChatGPT.
Tidak terdeteksi AI detector
seperti ChatGPT.
MERIDIAN AI
Coba Sekarang