Analisis Mendalam terhadap UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
1. Konteks Historis: Momentum Reformasi Pasca-Orde Baru
UU No. 39/1999 lahir dalam transisi demokrasi pasca-lengsernya Presiden Soeharto (1998), di tengah tuntutan masyarakat untuk memperbaiki catatan HAM Indonesia yang kelam selama Orde Baru. Tragedi seperti Penembakan Mahasiswa Trisakti (1998), Kerusuhan Mei 1998, dan pelanggaran HAM berat di Timor Timur, Aceh, atau Papua mendorong kebutuhan kerangka hukum HAM yang progresif. UU ini menjadi simbol komitmen reformasi untuk membatasi kekuasaan negara dan melindungi warga dari penyalahgunaan wewenang.
2. Respons atas Tekanan Internasional
Indonesia saat itu menghadapi tekanan global, terutama setelah pelanggaran HAM di Timor Timur (1999). UU ini menjadi strategi politik untuk menunjukkan keseriusan mematuhi standar internasional, seperti Deklarasi Universal HAM 1948 dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil-Politik (ICCPR). Namun, Indonesia baru meratifikasi ICCPR melalui UU No. 12/2005, menunjukkan bahwa UU No. 39/1999 lebih dahulu menjadi benchmark domestik.
3. Inovasi Hukum yang Diperkenalkan
- Pengakuan Hak Non-Derogable (Pasal 4): Hak seperti hidup, bebas dari penyiksaan, dan kebebasan berpikir/berkeyakinan tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun, termasuk darurat. Ini membatasi praktik Orde Baru yang kerap menggunakan "stabilitas nasional" untuk membungkam kritik.
- Penguatan Komnas HAM: Meski Komnas HAM berdiri sejak 1993 (Keppres No. 50/1993), UU ini memberinya landasan hukum yang lebih kuat dan mandat menyelidiki pelanggaran HAM berat (meski kewenangan penyidikan terbatas).
- Prinsip Tanggung Jawab Negara (Pasal 71-72): Negara wajib menghormati, melindungi, dan menegakkan HAM, termasuk melalui mekanisme hukum yang responsif.
4. Keterkaitan dengan Regulasi Lain
- Pintu Menuju Pengadilan HAM: UU No. 39/1999 menjadi dasar bagi pembentukan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
- Amandemen UUD 1945: Pasal 28A-28J UUD 1945 (amandemen kedua, 2000) mengadopsi prinsip UU ini, mengukuhkan HAM sebagai hak konstitusional.
5. Tantangan Implementasi
- Pembiaran Impunitas: Kasus seperti pembunuhan aktivis HAM Munir (2004) dan lambannya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu (1965, 1998) menunjukkan kesenjangan antara teks hukum dan praktik.
- Konflik dengan UU Kontroversial: UU No. 39/1999 kerap "dibajak" oleh regulasi bermasalah seperti UU ITE (digunakan untuk kriminalisasi kritik) atau UU Cipta Kerja yang dinilai mengabaikan partisipasi publik.
6. Signifikansi dalam Dinamika HAM Kontemporer
UU ini masih relevan sebagai alat advokasi untuk kasus seperti kekerasan aparat di Papua, kriminalisasi minoritas agama, atau kekerasan berbasis gender. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada political will pemerintah dan dukungan masyarakat sipil.
Kesimpulan:
UU No. 39/1999 adalah produk historis Reformasi yang mereformasi paradigma HAM Indonesia dari "negara sebagai penguasa" menjadi "negara sebagai pelindung". Meski belum ideal, UU ini menjadi fondasi bagi perjuangan HAM yang terus berkembang di Indonesia.