Berikut analisis mendalam mengenai Peraturan Menteri PANRB No. 36 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Bidan beserta konteks historis dan informasi pendukung yang relevan:
Konteks Historis dan Latar Belakang
-
Fokus Penurunan Angka Kematian Ibu dan Anak (AKI/AKB)
- Regulasi ini lahir dalam rangka memperkuat peran bidan sebagai ujung tombak penurunan AKI/AKB di Indonesia, yang saat itu masih tinggi (303 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup pada 2015, berdasarkan SDKI).
- Bidan menjadi tenaga kesehatan terdepan di daerah terpencil, sehingga perlu adanya penguatan struktur karir dan perlindungan hukum.
-
Reformasi Birokrasi Kesehatan
- Sebelum 2019, status jabatan bidan seringkali ambigu: sebagian diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan jabatan struktural, sebagian lain sebagai tenaga kontrak.
- Permen ini menjawab kebutuhan standarisasi kompetensi dan kepastian jenjang karir untuk meningkatkan motivasi dan akuntabilitas bidan.
-
Harmonisasi dengan Kebijakan Nasional
- Selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang menargetkan peningkatan kualitas SDM kesehatan dan Sustainable Development Goals (SDGs).
Poin Krusial yang Perlu Diketahui
-
Jenjang Jabatan Fungsional Bidan
- Diatur secara hierarkis: Bidan Pelaksana Pemula, Bidan Pelaksana, Bidan Pelaksana Lanjutan, Bidan Penyelia, Bidan Pertama, Bidan Muda, Bidan Madya, Bidan Utama.
- Setiap jenjang mensyaratkan angka kredit dari unsur pendidikan, pelayanan, pengabdian masyarakat, dan penunjang.
-
Implikasi pada Sistem Kesehatan
- Bidan wajib memiliki Sertifikat Kompetensi dan Surat Tanda Registrasi (STR) yang berlaku, mengacu pada UU No. 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan.
- Penempatan bidan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) diberi insentif khusus untuk mendukung pemerataan layanan kesehatan.
-
Dasar Hukum Terkait
- UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN): Menjabarkan prinsip merit system dalam pengembangan karir PNS.
- PP No. 11/2017 tentang Manajemen PNS: Mengatur mekanisme penilaian kinerja dan promosi jabatan fungsional.
Tantangan Implementasi
-
Disparitas Kapasitas Daerah
- Tidak semua pemerintah daerah memiliki anggaran memadai untuk program pelatihan dan sertifikasi bidan.
- Contoh: Bidan di Papua kerap kesulitan memenuhi syarat angka kredit karena minimnya fasilitas penunjang.
-
Tumpang Tindih Regulasi
- Perlu sinkronisasi dengan Permenkes No. 28/2017 tentang Izin Praktik Bidan untuk menghindari dualisme kewenangan.
-
Digitalisasi Layanan Kesehatan
- Permen ini belum sepenuhnya mengakomodasi praktik telemedicine atau peran bidan dalam transformasi digital sistem kesehatan.
Rekomendasi Strategis
- Advokasi ke Pemerintah Daerah untuk alokasi anggaran spesifik pengembangan kompetensi bidan.
- Kolaborasi KemenPANRB dengan Kemenkes dalam menyusun pedoman teknis pelaksanaan lapangan.
- Pemantauan Berkala melalui Sistem Informasi Jabatan Fungsional (SIJAFUNG) untuk memastikan transparansi penilaian angka kredit.
Kesimpulan
Permen PANRB No. 36/2019 menjadi landasan hukum transformasi peran bidan dari tenaga kesehatan "umum" menjadi profesi dengan jalur karir terstruktur dan standar nasional. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah dan dukungan infrastruktur kesehatan.
Sebagai praktisi hukum, penting untuk memastikan klien (instansi pemerintah/swasta) memahami implikasi regulasi ini, terutama terkait kewajiban pengembangan SDM dan penghitungan angka kredit yang berpotensi memicu sengketa administrasi jika tidak dikelola transparan.