Berikut analisis mendalam mengenai Permendikbud No. 32 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Minimal Pendidikan beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis dan Tujuan Pengaturan
-
Latar Belakang Kebijakan
- Permendikbud ini merupakan turunan dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan standar pelayanan minimal (SPM) sebagai tolok ukur kualitas layanan publik wajib oleh pemerintah daerah.
- Pendidikan menjadi salah satu sektor prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019, dengan fokus pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan.
- Regulasi ini juga merespons kesenjangan kualitas pendidikan antarwilayah, terutama antara daerah perkotaan dan pedesaan/terpencil.
-
Perubahan Paradigma
- Sebelumnya, kebijakan pendidikan lebih berfokus pada input (misalnya: jumlah guru, sarana prasarana). Permendikbud No. 32/2018 memperkuat aspek output dan proses, seperti ketersediaan kurikulum, sistem penilaian, dan pengawasan pembelajaran.
- Regulasi ini mengintegrasikan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang menjadi program unggulan Kemdikbud era Menteri Muhadjir Effendy.
Poin Kritis yang Perlu Diketahui
-
Pencabutan dan Perubahan Regulasi
- Permendikbud No. 32/2018 tidak berlaku sejak diubah oleh Permendikbud No. 32 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Permendikbud No. 32/2018. Perubahan ini menyesuaikan dengan kebijakan Merdeka Belajar dan fleksibilitas kurikulum darurat selama pandemi COVID-19.
- Pada 2023, SPM Pendidikan diatur ulang melalui Permendikbudristek No. 9 Tahun 2023 yang lebih menekankan pada layanan pendidikan inklusif dan teknologi digital.
-
Tantangan Implementasi
- Banyak pemerintah daerah kesulitan memenuhi SPM karena keterbatasan anggaran dan kompleksitas geografis, terutama di daerah 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal).
- Kritik dari kalangan ahli: SPM dinilai terlalu "Jakarta-sentris" dan kurang mempertimbangkan konteks kearifan lokal.
-
Keterkaitan dengan Regulasi Lain
- Terkait erat dengan PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal dan Permendagri No. 100 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembentukan Produk Hukum Daerah untuk Implementasi SPM.
- Dalam praktik, SPM pendidikan menjadi dasar alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan.
Implikasi Hukum dan Praktis
-
Kewajiban Pemerintah Daerah
- Pemda wajib memenuhi 27 indikator SPM pendidikan, termasuk ketersediaan guru bersertifikat, rasio siswa per rombel, dan fasilitas perpustakaan.
- Kegagalan memenuhi SPM dapat menjadi dasar somasi oleh masyarakat atau evaluasi oleh Kemdikbud melalui mekanisme supervisi.
-
Dasar Gugatan Masyarakat
- Masyarakat dapat mengajukan gugatan melalui PTUN jika Pemda dinilai lalai memenuhi SPM (didasarkan pada UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan).
- Contoh kasus: Pada 2020, sejumlah LSM di NTT menggugat pemerintah kabupaten karena tidak menyediakan akses pendidikan inklusif sesuai SPM.
Rekomendasi Strategis
-
Bagi pemerintah daerah:
- Memprioritaskan alokasi APBD untuk indikator SPM yang belum tercapai.
- Memanfaatkan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk pembangunan infrastruktur pendidikan.
-
Bagi masyarakat sipil:
- Memantau implementasi SPM melalui kanal Sistem Informasi Pendidikan Daerah (SIPD).
- Mengoptimalkan mekanisme Pengaduan Layanan Publik (Permenpan RB No. 14/2017) jika menemukan pelanggaran.
Permendikbud No. 32/2018 mencerminkan upaya sistematis pemerintah untuk menstandardisasi layanan pendidikan, meski dalam praktiknya masih perlu adaptasi dengan dinamika kebijakan dan kondisi riil di lapangan.