Berikut analisis mendalam mengenai Permendikbudristek Nomor 32 Tahun 2022 tentang Standar Teknis Pelayanan Minimal Pendidikan (SPM Pendidikan) beserta konteks historis dan informasi kritis yang perlu diketahui:
1. Latar Belakang Politik-Edukasi
Peraturan ini lahir dalam era transformasi besar-besaran sistem pendidikan Indonesia pasca-penggabungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Riset dan Teknologi (2021). Kebijakan ini merupakan turunan langsung dari agenda Merdeka Belajar Episode ke-19, yang fokus pada desentralisasi kewenangan pengelolaan pendidikan ke pemerintah daerah.
2. Paradigma Baru SPM Pendidikan
- Perubahan Filosofi: Dari sekadar pemenuhan sarana-prasarana (Permendikbud No. 23/2013) menjadi penekanan pada output pembelajaran (literasi, numerasi, karakter).
- Indikator Krusial yang Diperkenalkan:
- Rasio maksimal 28 siswa per rombongan belajar (SD)
- Ketersediaan akses internet berkecepatan minimal 10 Mbps
- Kewajiban program remedial bagi siswa tertinggal
3. Dimensi Legal-Technical yang Kontroversial
- Pasal 9 Ayat (2): Kewajiban pemerintah daerah mengalokasikan 20% APBD untuk pendidikan - angka ini menuai debat karena bertentangan dengan UU Sisdiknas yang hanya mengatur 20% APBN.
- Penegakan Sanksi Administratif (Pasal 13): Mekanisme belum jelas, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi daerah yang belum memenuhi standar.
4. Respons Daerah dan Implementasi
Data Kemendagri (2023) menunjukkan hanya 12% kabupaten/kota yang telah memenuhi seluruh indikator SPM. Kendala utama terletak pada:
- Ketimpangan kapasitas fiskal daerah
- Rendahnya kualitas SDM pengelola pendidikan di daerah 3T
- Infrastruktur digital yang belum merata
5. Keterkaitan dengan Reformasi Birokrasi
Peraturan ini menjadi basis hukum bagi kebijakan performance-based budgeting di sektor pendidikan, diukur melalui platform Rapor Pendidikan berbasis Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
6. Kritik dari Civil Society
LSM pendidikan seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat potensi penyimpangan dalam:
- Proses pengadaan barang/jasa pendidikan
- Rekruitmen guru honorer
- Alokasi dana BOS yang tumpang-tindih dengan SPM
7. Preseden Hukum Terkait
- Putusan PTUN Medan No. 12/G/2023/PTUN-MDN yang membatalkan sanksi terhadap Pemkab Langkat atas ketidakmampuan memenuhi SPM, menjadi acuan penting dalam penafsiran aspek force majeure.
8. Proyeksi ke Depan
Peraturan ini akan menjadi landasan strategis dalam mencapai target SDGs 2030, khususnya pada indikator pendidikan berkualitas (Goal 4). Namun memerlukan revisi pada aspek:
- Mekanisme afirmasi untuk daerah tertinggal
- Penyesuaian standar teknologi pendidikan
- Integrasi dengan kebijakan green school
Sebagai praktisi hukum, saya merekomendasikan pemerintah daerah untuk segera melakukan:
- Audit kepatuhan SPM
- Penyusunan Perda Pendidikan berbasis indikator ini
- Advokasi ke Kemendikbudristek untuk penyesuaian standar sesuai kapasitas daerah