Berikut analisis mendalam mengenai Permenkes No. 9 Tahun 2017 tentang Apotek beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis
-
Penggantian Permenkes No. 35/2014
Permenkes No. 9/2017 lahir sebagai respons atas kritik terhadap Permenkes No. 35/2014, terutama terkait kepemilikan apotek oleh non-apoteker. Regulasi sebelumnya dinilai berpotensi melemahkan peran apoteker sebagai penanggung jawab profesional dan mengkomersialisasi layanan kefarmasian. -
Tujuan Reformasi Sistem Kesehatan
Regulasi ini sejalan dengan agenda Nawacita Pemerintah Jokowi (2014–2019) untuk meningkatkan akses dan mutu layanan kesehatan, termasuk farmasi, serta menguatkan peran tenaga kesehatan profesional.
Poin Krusial yang Perlu Diketahui
-
Kepemilikan Apotek
- Hanya apoteker atau sarjana farmasi yang boleh memiliki apotek (Pasal 5).
- Pelarangan kepemilikan silang dengan fasilitas kesehatan (misalnya klinik/rumah sakit) untuk mencegah monopoli dan konflik kepentingan.
-
Persyaratan Lokasi
- Diatur jarak minimal 250 meter antarapotek (Pasal 10) untuk mencegah penumpukan apotek di satu wilayah dan menjangkau daerah "blank spot".
-
Sistem Sumber Daya Manusia
- Wajib ada apoteker penanggung jawab (APJ) yang bekerja full-time (Pasal 15), bertentangan dengan praktik sebelumnya di mana satu apoteker sering menjadi "stempel" untuk multiple apotek.
-
Pengawasan Ketat
- Kewajiban pelaporan stok obat tertentu (misalnya narkotika, psikotropika) secara real-time ke sistem Kementerian Kesehatan.
Dampak & Kontroversi
-
Protes dari Pemilik Apotek Non-Apoteker
Aturan kepemilikan memicu penutupan massal apotek yang dimiliki investor/pengusaha non-farmasi. Di Jakarta saja, 30% apotek tutup pada 2018–2019 akibat regulasi ini. -
Tantangan di Daerah Terpencil
Sulitnya memenuhi syarat APJ full-time di daerah tertinggal, menyebabkan kekurangan akses obat di wilayah seperti Papua dan NTT. -
Kasus Hukum
Pada 2018, Asosiasi Pengusaha Apotek Indonesia (APAFI) mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung, tetapi ditolak dengan pertimbangan health public interest mengalahkan kepentingan bisnis.
Relasi dengan Regulasi Lain
-
UU No. 36/2009 tentang Kesehatan
Memperkuat Pasal 108 UU ini yang mewajibkan praktik kefarmasian dipimpin oleh tenaga profesional. -
PP No. 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
Menjadi dasar hukum kewajiban keberadaan apoteker di apotek. -
Permenkes No. 31/2016 tentang Sertifikasi Praktik Apoteker
Mengatur kompetensi teknis APJ yang diamanatkan dalam Permenkes 9/2017.
Perkembangan Terkini (2023–2024)
- Kemenkes sedang menyusun revisi untuk mengakomodasi apotek digital dan integrasi dengan platform telemedicine.
- Pengawasan diperketat melalui Sistem Informasi Apotek Nasional (SIANAS) untuk memantau distribusi obat secara real-time.
Rekomendasi Strategis bagi Klien
- Bagi apoteker pemula: Manfaatkan insentif pendirian apotek di daerah 3T melalui program Kemenkes.
- Bagi pemilik lama: Lakukan restrukturisasi kepemilikan untuk memenuhi syarat APJ full-time.
- Waspadai sanksi administratif (Pasal 32) berupa pencabutan izin jika melanggar ketentuan jarak lokasi atau kepemilikan.
Regulasi ini mencerminkan paradigma "kesehatan sebagai hak" yang mengutamakan perlindungan masyarakat atas praktik bisnis, meski berimplikasi pada dinamika pasar farmasi.