Analisis Perpres No. 12 Tahun 2021: Konteks Historis dan Informasi Tambahan
Perpres No. 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres No. 16 Tahun 2018 merupakan respons terhadap dinamika kebijakan nasional, khususnya pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11/2020). Berikut poin-poin kritis yang perlu dipahami:
1. Konteks Politik-Ekonomi
- Harmonisasi dengan UU Cipta Kerja: Perpres ini lahir untuk menyelaraskan rezim pengadaan barang/jasa pemerintah dengan semangat UU Cipta Kerja, yang bertujuan mempermudah investasi, mengurangi birokrasi, dan meningkatkan daya saing ekonomi.
- Dorongan Pemerataan Ekonomi: Kebijakan alokasi 40% anggaran untuk UMKM dan koperasi mencerminkan komitmen pemerintah dalam memperkuat ekonomi kerakyatan, terutama pasca-tekanan ekonomi akibat pandemi COVID-19 (2020-2021).
2. Evolusi Kebijakan Pengadaan Pemerintah
- Perpres No. 16/2018 sebelumnya hanya mewajibkan alokasi minimal 30% untuk UMKM. Peningkatan menjadi 40% melalui Perpres 12/2021 menunjukkan upaya agresif untuk memperluas partisipasi pelaku usaha kecil.
- Integrasi TKDN + BMP: Sebelumnya, aturan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) hanya berfokus pada konten lokal. Penambahan Bobot Manfaat Perusahaan (BMP)—yang mencakup aspek seperti penyerapan tenaga kerja, transfer teknologi, dan kontribusi pajak—merupakan inovasi untuk mendorong multiplier effect ekonomi.
3. Implikasi Praktis
- Insentif dan Sanksi: Kementerian/Lembaga/Pemda yang tidak memenuhi alokasi 40% berpotensi mendapat sanksi administratif, termasuk evaluasi kinerja oleh Kementerian PPN/Bappenas.
- Tantangan Implementasi:
- Kapasitas UMKM: Tidak semua UMMM dan koperasi siap bersaing dalam tender pemerintah, terutama dalam hal kualitas, administrasi, dan skala produksi.
- Risiko Manipulasi Data TKDN+BMP: Perlu pengawasan ketat untuk memastikan integritas perhitungan nilai TKDN dan BMP oleh lembaga sertifikasi seperti Kemenperin atau LSPro.
4. Regulasi Pendukung
- Peraturan LKPP No. 9/2021: Menjabarkan teknis pelaksanaan TKDN+BMP, termasuk mekanisme verifikasi dan sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar.
- Peran OSS (Online Single Submission): Integrasi proses pengadaan dengan sistem OSS untuk memastikan transparansi dan kemudahan akses bagi UMKM.
5. Kritik dan Debat Publik
- Potensi Diskriminasi: Pelaku usaha besar mengkhawatirkan kebijakan ini mengurangi ruang kompetisi, meski pemerintah menegaskan bahwa alokasi 40% hanya berlaku untuk pengadaan bernilai di bawah batas tertentu (sesuai ketentuan lelang).
- Ketimpangan Regional: Daerah dengan basis industri kecil terbatas (misalnya di Indonesia Timur) mungkin kesulitan memenuhi kuota 40%, sehingga perlu intervensi khusus dari pemerintah pusat.
6. Proyeksi ke Depan
Perpres ini menjadi fondasi untuk mencapai target peningkatan kontribusi UMKM hingga 60% terhadap PDB nasional pada 2024. Namun, keberhasilannya bergantung pada sinergi antara pemerintah, asosiasi usaha, dan lembaga pendukung seperti BRI atau PNM dalam pemberdayaan UMKM.
Sebagai profesional hukum, penting untuk memastikan klien memahami bahwa kepatuhan terhadap Perpres ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga strategis untuk membangun hubungan jangka panjang dengan pemerintah dan mendukung agenda pembangunan nasional.