Analisis Hukum Terkait PMK No. 54/PMK.03/2021 tentang Pembukuan dan Pencatatan untuk Perpajakan
Konteks Historis dan Tujuan Regulasi
-
Latar Belakang Reformasi Perpajakan
PMK ini merupakan respons atas kebutuhan untuk menyederhanakan kewajiban pembukuan bagi Wajib Pajak (WP) UMKM dan pekerja bebas, sekaligus mengakomodasi prinsip ease of doing business yang diamanatkan dalam UU Cipta Kerja (UU No. 11/2020). Sebelumnya, ketentuan pembukuan diatur dalam PMK No. 197/PMK.03/2007, yang dinilai kurang fleksibel dalam menghadapi perkembangan digitalisasi dan kebutuhan usaha mikro. -
Harmonisasi dengan UU Cipta Kerja
PMK ini mengimplementasikan Pasal 28 ayat (12) UU KUP yang diubah oleh UU Cipta Kerja, khususnya terkait pemberian kepastian hukum bagi WP yang memilih menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) atau pembukuan sederhana.
Poin Kritis yang Perlu Dipahami
-
Kriteria WP yang Dikecualikan dari Kewajiban Pembukuan
- WP Orang Pribadi (OP) yang diperbolehkan menggunakan NPPN (misalnya, usaha dengan omzet di bawah batas tertentu).
- WP OP yang tidak menjalankan usaha/pekerjaan bebas (misalnya, karyawan).
- WP OP dengan kriteria khusus yang ditetapkan DJP (misalnya, kondisi keuangan terbatas).
- Catatan: Jika WP OP memulai pembukuan sejak 2022, ia tidak boleh kembali ke pencatatan/NPPN di tahun berikutnya. Ini bertujuan mencegah manipulasi pelaporan pajak.
-
Pembukuan Elektronik
- PMK ini secara eksplisit mengakui pembukuan digital (e-accounting) sebagai metode yang sah, sejalan dengan transformasi digital DJP. Namun, data harus disimpan di Indonesia selama 10 tahun dan dapat diakses saat pemeriksaan.
-
Stelsel Kas untuk Pembukuan
- Mulai 2022, WP boleh menggunakan stelsel kas (pencatatan berdasarkan arus kas) alih-alih stelsel akrual. Ini menguntungkan usaha kecil dengan transaksi tidak rutin.
-
Pencabutan PMK 197/2007
PMK ini secara resmi mencabut PMK 197/2007, tetapi ketentuan teknis dalam PMK lama tetap berlaku selama tidak bertentangan.
Implikasi Praktis bagi Wajib Pajak
-
Kepatuhan Jangka Panjang
- WP harus memastikan sistem pencatatan/pembukuan yang digunakan kompatibel dengan standar akuntansi Indonesia (SAK) atau ketentuan khusus pajak.
- Kesalahan dalam memilih metode (misalnya, NPPN vs. pembukuan) berisiko mengakibatkan koreksi fiskal dan sanksi administratif.
-
Risiko Hukum
- Penyimpanan dokumen di luar Indonesia atau gagal menyimpan data selama 10 tahun dapat dianggap sebagai pelanggaran administrasi perpajakan (Pasal 35 UU KUP).
-
Peluang
- WP yang beralih ke pembukuan elektronik dapat memanfaatkan insentif seperti percepatan restitusi pajak atau kemudahan dalam pemeriksaan.
Dasar Hukum Pendukung
- Pasal 17 ayat (3) UUD 1945: Prinsip keadilan dalam pemungutan pajak.
- UU No. 6/1983 tentang KUP (sebagaimana diubah UU Cipta Kerja): Kewenangan DJP menetapkan kriteria pembukuan.
- PP No. 74/2011 jo. PP No. 9/2021: Kerangka teknis pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.
Rekomendasi untuk Klien
- Lakukan assesmen kriteria usaha untuk menentukan apakah wajib pembukuan atau cukup pencatatan.
- Jika memilih pembukuan elektronik, pastikan sistem yang digunakan terintegrasi dengan aplikasi DJP (e-Faktur, e-Bupot).
- Simpan backup data secara berkala dan pastikan aksesibilitas selama 10 tahun.
PMK ini mencerminkan upaya pemerintah menyeimbangkan kepatuhan pajak dengan kemudahan berusaha, tetapi WP perlu proaktif memahami implikasinya untuk menghindari risiko sengketa.