Berikut analisis mendalam mengenai PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis
-
Penggantian PP No. 58 Tahun 2005
PP ini menggantikan PP No. 58/2005 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan tata kelola keuangan daerah, terutama setelah terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. PP 58/2005 dinilai kurang responsif terhadap kebutuhan desentralisasi fiskal dan prinsip akuntabilitas modern. -
Harmonisasi dengan Reformasi Birokrasi
PP ini muncul dalam rangka mendukung agenda reformasi birokrasi dan penguatan tata kelola keuangan negara pasca-skandal korupsi sejumlah kepala daerah yang menyalahgunakan APBD. PP 12/2019 mempertegas mekanisme pengawasan untuk meminimalisasi penyimpangan. -
Respons atas Desentralisasi Fiskal
PP ini mengakomodasi dinamika hubungan keuangan pusat-daerah pasca-revisi UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan, terutama terkait pengelolaan pajak daerah, retribusi, dan BLUD.
Inovasi Kunci dalam PP 12/2019
-
Penguatan BLUD (Badan Layanan Umum Daerah)
PP ini memperluas kewenangan BLUD dalam mengelola layanan publik dengan pola flexible budgeting dan corporate governance. Ini respons atas tuntutan efisiensi layanan publik seperti rumah sakit daerah dan PDAM. -
Utang Daerah yang Lebih Terkontrol
PP 12/2019 memperketat syarat penerbitan utang daerah, termasuk kewajiban memiliki rating tertentu dari lembaga pemeringkat. Ini untuk mencegah kasus gagal bayar utang seperti yang terjadi di beberapa kabupaten periode 2010-2015. -
Integrasi Sistem Elektronik
Diatur kewajiban menggunakan sistem informasi keuangan daerah terintegrasi dengan platform Kementerian Keuangan (seperti SIPKD), yang merevolusi transparansi realisasi APBD secara real-time.
Implikasi Praktis bagi Daerah
-
Penyesuaian Perda dan SOP Keuangan
Seluruh daerah wajib merevisi Perda tentang APBD dan SOP pengelolaan keuangan untuk menyesuaikan dengan prinsip value for money dan performance-based budgeting dalam PP ini. -
Risiko Hukum bagi Kepala Daerah
Ketentuan Pasal 78 tentang penyelesaian kerugian keuangan daerah memperluas tanggung jawab kepala daerah secara personal jika terbukti lalai, termasuk sanksi administratif hingga pidana. -
Peluang Investasi melalui Kekayaan Daerah
PP ini membuka ruang kolaborasi pemerintah daerah dengan swasta/BUMD dalam pengelolaan kekayaan daerah (Pasal 6), seperti skema KPBU untuk infrastruktur.
Tantangan Implementasi
-
Kapasitas SDM Keuangan Daerah
Banyak daerah (terutama di wilayah 3T) masih kesulitan memenuhi standar akuntansi dan pelaporan keuangan berbasis SAP (Standar Akuntansi Pemerintahan). -
Ambiguitas Kewenangan Inspektorat Daerah
Pasal 74 tentang pengawasan belum jelas mengatur hubungan hierarkis antara Inspektorat Daerah dengan BPKP/BPK, berpotensi menimbulkan tumpang tindih. -
Deadline Peraturan Pelaksanaan
Sebagian Permendagri sebagai turunan PP ini (misalnya Permendagri No. 77/2020 tentang Pengelolaan BLUD) dinilai masih bersifat umum, menyulitkan implementasi teknis.
Rekomendasi Strategis
- Bagi pemerintah daerah: Segera melakukan gap analysis terhadap peraturan internal dan meningkatkan kapasitas melalui pelatihan berbasis PP 12/2019.
- Bagi investor/swasta: Manfaatkan klausul pengelolaan kekayaan daerah untuk menjajaki skema KPBU dengan mitigasi risiko hukum melalui due diligence menyeluruh.
- Bagi masyarakat sipil: Optimalkan hak akses informasi keuangan daerah (Pasal 76) untuk memantau realisasi APBD melalui portal SIPKD.
PP No. 12/2019 menjadi landmark dalam menciptakan tata kelola keuangan daerah yang akuntabel, meski masih diperlukan evaluasi berkala untuk menyempurnakan implementasinya.