Berikut analisis mendalam mengenai PP No. 128 Tahun 2015 beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis dan Latar Belakang
-
Reformasi Administrasi Pertanahan Pasca-UUPA 1960
PP ini merupakan bagian dari upaya modernisasi sistem pertanahan Indonesia yang berakar pada UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Meski UUPA menjadi landasan hukum agraria nasional, implementasinya kerap terkendala birokrasi dan tarif PNBP yang tidak terstandardisasi. PP No. 128/2015 hadir untuk memperkuat basis pendapatan negara sekaligus memangkas inefisiensi. -
Respons atas Tuntutan Globalisasi dan Investasi
Pada era 2010-an, Indonesia menghadapi tekanan untuk meningkatkan kemudahan berusaha (ease of doing business), termasuk di sektor properti dan tata ruang. PP ini menata ulang tarif PNBP agar lebih transparan, mendukung iklim investasi, sekaligus menjawab kritik dari pelaku usaha tentang mahalnya biaya perizinan tanah. -
Perubahan Struktur Kelembagaan
PP ini dikeluarkan setelah penggabungan Kementerian Agraria dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada 2014. Penyesuaian tarif PNBP diperlukan untuk menyelaraskan kewenangan lembaga hasil restrukturisasi tersebut.
Poin Krusial yang Sering Diabaikan
-
Keterkaitan dengan UU PNBP No. 20 Tahun 1997
PP No. 128/2015 merupakan turunan dari UU PNBP yang sudah berlaku sejak 1997, tetapi disesuaikan dengan dinamika kontemporer seperti digitalisasi layanan pertanahan (e.g., Sismiop Online) dan kebutuhan transparansi. -
Implikasi pada Masyarakat Marginal
Meski bertujuan meningkatkan pendapatan negara, PP ini menuai kritik karena berpotensi membebani masyarakat miskin dalam mengakses sertifikat tanah. Tarif pengukuran tanah dan pendaftaran hak yang tinggi dapat menghambat program sertifikasi gratis pemerintah. -
Dasar Hukum Penertiban Tanah Obyek Sengketa
PP ini mengatur tarif untuk layanan terkait sengketa tanah (Pasal 10), yang kerap dipakai sebagai alat legal untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria, termasuk kasus-kasus yang melibatkan korporasi vs masyarakat adat.
Keterkaitan dengan Kebijakan Lain
-
Sinkronisasi dengan UU Cipta Kerja (2020)
Beberapa ketentuan dalam PP No. 128/2015 diadaptasi dalam regulasi turunan UU Cipta Kerja, terutama terkait percepatan perizinan berbasis risiko dan simplifikasi tarif layanan pertanahan. -
Dukungan pada Program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap)
PNBP dari PP ini menjadi sumber pendanaan utama program PTSL yang dicanangkan Jokowi sejak 2017 untuk menerbitkan 126 juta sertifikat tanah hingga 2025.
Kontroversi dan Tantangan Implementasi
-
Potensi Overpricing
LSM seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat adanya disparitas tarif antar wilayah, terutama untuk layanan pengukuran tanah, yang berisiko dimanfaatkan untuk praktik pungli. -
Tumpang Tindih dengan Retribusi Daerah
Sebelum PP ini berlaku, beberapa daerah menerapkan retribusi sendiri untuk layanan pertanahan. PP No. 128/2015 kerap bertabrakan dengan Perda setempat, memicu dualisme kewenangan.
Relevansi dalam Isu Global
PP ini sejalan dengan prinsip Land Governance FAO dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin 1.4 (kepastian hak atas tanah) dan 11.3 (tata ruang berkelanjutan). Tarif PNBP yang terukur membantu Indonesia memenuhi indikator global dalam tata kelola pertanahan.
Rekomendasi Strategis
- Evaluasi berkala tarif PNBP untuk menyesuaikan inflasi dan daya beli masyarakat.
- Integrasi database PNBP dengan sistem single submission OSS RBA untuk menghindari duplikasi pembayaran.
- Sosialisasi masif tentang keringanan tarif bagi UMKM dan masyarakat pra-sejahtera.
PP No. 128/2015 mencerminkan upaya pemerintah menyeimbangkan kepentingan fiskal dan keadilan agraria, meski tetap perlu dikawal agar tidak kontraproduktif dengan agenda reforma agraria.