Ringkasan Peraturan
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022 tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021. Regulasi ini memberikan penegasan serta penjelasan lebih lanjut mengenai ketentuan terkait PPN dan PPnBM berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Ketentuan utama meliputi: (1) Pengusaha wajib mengajukan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak bila melakukan penyerahan Barang atau Jasa Kena Pajak; (2) Pemungutan PPN dapat dilakukan oleh pihak lain yang ditunjuk sesuai ketentuan, termasuk dalam transaksi elektronik; (3) Pajak terutang pada saat penyerahan barang/jasa, impor, ekspor, atau pemanfaatan dari luar Daerah Pabean; (4) Dasar pengenaan PPN meliputi Harga Jual, Penggantian, nilai impor, atau nilai ekspor; (5) Faktur Pajak wajib dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak pada saat terutangnya PPN dan harus memenuhi kriteria tertentu; (6) Penghitungan PPN dilakukan dengan formula T/(100%+T) dari nilai transaksi, sedangkan PPnBM dihitung secara terpisah.
Regulasi ini berlaku mulai tanggal diundangkan dengan menyatakan tidak berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 terkait PPN dan PPnBM.
Meridian AI bisa salah. Cek konten penting.
Konteks dari Meridian
Analisis Hukum Terkait PP No. 44 Tahun 2022
Berikut konteks historis dan informasi tambahan yang perlu diketahui mengenai PP No. 44 Tahun 2022 tentang Penerapan PPN dan PPnBM:
1. Latar Belakang dan Tujuan
- Harmonisasi dengan UU HPP: PP ini merupakan turunan langsung dari UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Tujuannya adalah menyelaraskan ketentuan PPN dan PPnBM dengan reformasi sistem perpajakan Indonesia, termasuk perluasan basis pajak dan peningkatan kepatuhan.
- Penghapusan Ambiguitas: PP ini menggantikan PP No. 1 Tahun 2012 dan mencabut Pasal 5 PP No. 9 Tahun 2021 untuk menghilangkan multitafsir dalam praktik, terutama terkait kerja sama operasi (KSO), tanggung jawab renteng, dan objek pajak yang sebelumnya kurang diatur tegas.
2. Poin Krusial yang Diperjelas
- Tanggung Jawab Renteng: Pengaturan ini menegaskan bahwa seluruh pihak dalam KSO bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran PPN/PPnBM. Ini mencegah praktik pengelakan pajak dengan "menyembunyikan" kewajiban di satu pihak saja.
- Transaksi Syariah: PP ini secara eksplisit mengatur penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dalam skema pembiayaan syariah (seperti akad murabahah atau ijarah), yang sebelumnya sering menimbulkan ketidakpastian hukum.
- Besaran Tertentu: Diperkenalkannya metode penghitungan PPN dengan besaran tertentu (misal: 1,2% dari DPP untuk sektor tertentu) bertujuan menyederhanakan administrasi pajak, terutama bagi UMKM dan sektor informal.
- Agunan dan Lelang: Penyerahan BKP melalui lelang atau pengambilalihan agunan oleh kreditur (misal: bank) kini diatur sebagai objek PPN, mengantisipasi praktik penghindaran pajak melalui transaksi non-konvensional.
3. Perubahan Signifikan dari Aturan Sebelumnya
- Pemakaian Sendiri/Cuma-Cuma: PP ini memperluas definisi "penyerahan" yang dikenai PPN, termasuk pemberian cuma-cuma oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) kepada pihak lain. Ini menutup celah penghindaran pajak melalui skema "hadiah" atau insentif.
- Dokumen Setara Faktur Pajak: PP mempertegas bahwa dokumen tertentu (seperti invoice dari penyelenggara lelang) dapat dipersamakan dengan Faktur Pajak, mempermudah pengkreditan Pajak Masukan.
- Kurs Transaksi Valas: Penegasan penggunaan kurs harian Bank Indonesia untuk transaksi dalam mata uang asing mengurangi risiko manipulasi nilai DPP.
4. Implikasi bagi Pelaku Usaha
- Kepatuhan Kompleks: Pelaku usaha di sektor lelang, pembiayaan syariah, atau KSO harus menyesuaikan sistem akuntansi dan kontrak kerja sama untuk memastikan pemungutan dan pelaporan PPN/PPnBM sesuai ketentuan baru.
- Risiko Double Taxation: Skema kerja sama operasi perlu dirancang dengan jelas untuk menghindari tumpang tindih kewajiban pajak antaranggota KSO.
- Peluang Restitusi: Pengaturan pengkreditan Pajak Masukan dari dokumen setara Faktur Pajak memungkinkan pengusaha mengoptimalkan restitusi pajak.
5. Konteks Sosio-Ekonomi
- Peningkatan Penerimaan Negara: PP ini sejalan dengan target rasio pajak Indonesia sebesar 10-12% dari PDB. Sektor e-commerce, properti, dan jasa keuangan menjadi fokus pengawasan.
- Respons Terhadap Ekonomi Digital: Aturan pemungutan oleh pihak lain (seperti marketplace) mencerminkan upaya pemerintah mengakomodir transaksi digital yang marak pasca-pandemi.
6. Potensi Sengketa
- Penafsiran "Pemakaian Sendiri": Batasan antara pemakaian internal perusahaan (non-PPN) dan pemberian cuma-cuma ke pihak eksternal berpotensi menimbulkan sengketa.
- Kewajiban Kreditur: Bank atau lembaga keuangan yang mengambil alih agunan wajib memastikan penyerahan BKP-nya telah memenuhi ketentuan PPN untuk menghindari sanksi.
Rekomendasi:
Pelaku usaha disarankan melakukan audit kepatuhan PPN/PPnBM, merevisi kontrak kerja sama, dan berkoordinasi dengan konsultan pajak untuk mengantisipasi perubahan administratif. Pemerintah diharapkan segera menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak (PER) sebagai pedoman teknis.
Meridian AI bisa salah. Cek konten penting.
Materi Pokok Peraturan
PP ini mengatur mengenai pengaturan, penegasan, dan penjelasan lebih lanjut atas pengaturan mengenai kerja sama operasi, tanggung jawab secara renteng pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma, penyerahan yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai, penyerahan Barang Kena Pajak melalui penyelenggara lelang, penyerahan Barang Kena Pajak berupa agunan yang diambil alih oleh kreditur, penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema transaksi pembiayaan syariah, ketentuan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dengan besaran tertentu, konversi kurs atas transaksi dengan mata uang selain Rupiah, pengkreditan Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, dan penunjukan pihak lain untuk memungut, menyetor, dan/atau melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang.