Analisis Mendalam terhadap PP No. 5 Tahun 2019 tentang PNBP di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan
PP No. 5 Tahun 2019 merupakan instrumen penting dalam reformasi sistem keuangan peradilan Indonesia. Berikut konteks historis dan informasi tambahan yang perlu diketahui:
1. Dasar Hukum dan Tujuan Utama
- PP ini mengacu pada UU No. 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang merevisi UU PNBP sebelumnya (UU No. 20 Tahun 1997). UU 9/2018 menekankan prinsip cost recovery (pengembalian biaya layanan) dan ability to pay (kemampuan membayar).
- Tujuan: Menertibkan tarif PNBP di lingkungan peradilan untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan kepastian hukum, sekaligus mengurangi praktik pungutan liar (illegal levies) yang sebelumnya marak.
2. Konteks Reformasi Peradilan
- PP ini adalah bagian dari agenda reformasi Mahkamah Agung (MA) pasca-skandal korupsi di tubuh peradilan pada era 2000-an. Misalnya, kasus suap Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita (2003) yang menyadarkan publik tentang urgensi transparansi keuangan peradilan.
- Sebelum PP 5/2019, tarif PNBP diatur dalam PP No. 63 Tahun 2008. Namun, aturan tersebut dinilai tidak lagi sesuai dengan kebutuhan dan prinsip keadilan, terutama terkait tarif yang tidak proporsional.
3. Poin Krusial dalam PP 5/2019
- Jenis PNBP meliputi:
- Biaya perkara (pidana, perdata, tata usaha negara).
- Biaya pendaftaran permohonan peninjauan kembali (PK).
- Biaya legalisasi dokumen.
- Tarif disesuaikan dengan jenis pengadilan (umum, agama, militer, TUN) dan kompleksitas perkara.
- Tarif Terkini: Misalnya, biaya pendaftaran gugatan perdata di Pengadilan Negeri kini dibatasi maksimal Rp500.000 (Pasal 3), sebelumnya bisa mencapai jutaan rupiah.
4. Dampak dan Kontroversi
- Positif: Masyarakat berpenghasilan rendah mendapat keringanan biaya perkara (Pasal 7), sejalan dengan prinsip access to justice.
- Kritik: Ada kekhawatiran bahwa tarif PNBP yang terlalu tinggi tetap berpotensi membebani masyarakat. Namun, PP ini telah mempertimbangkan asas keadilan dengan memberikan diskresi kepada hakim untuk menyesuaikan biaya berdasarkan kemampuan ekonomi pihak berperkara.
5. Implementasi dan Tantangan
- MA mengeluarkan PERMA No. 2 Tahun 2019 sebagai pedoman teknis pelaksanaan PP ini.
- Tantangan utama: Sosialisasi yang belum merata di daerah terpencil, serta resistensi oknum yang terbiasa dengan praktik pungutan tidak resmi.
6. Relevansi dengan Kebijakan Global
- PP ini selaras dengan UNODC Guidelines on Strengthening Judicial Integrity (2020) yang menekankan transparansi keuangan lembaga peradilan untuk mencegah korupsi.
Kesimpulan: PP No. 5/2019 adalah langkah progresif untuk meningkatkan integritas dan akuntabilitas peradilan Indonesia. Meski tidak sempurna, aturan ini menjadi fondasi penting dalam mewujudkan peradilan yang bersih dan terjangkau.