Analisis Mendalam Terhadap UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Konteks Historis
-
Latar Belakang Kolonial dan Pluralisme Hukum
Sebelum UU ini lahir, hukum perkawinan di Indonesia bersifat pluralistik, mengacu pada:- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer/BW) warisan Belanda untuk warga Eropa dan Timur Asing.
- Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers (HOCI) untuk umat Kristen Indonesia.
- Hukum agama (Islam, Hindu, adat) yang berlaku secara tidak tertulis.
Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama terkait perkawinan campur, status anak, dan hak perempuan.
-
Tekanan Politik Era Orde Baru
UU ini digagas sebagai bagian dari agenda unifikasi hukum di bawah rezim Soeharto untuk memperkuat kontrol negara atas ranah privat. Proses pembahasannya (1968–1974) diwarnai ketegangan antara:- Kelompok Islam yang mengusung konsep perkawinan berbasis syariah (misalnya, poligami tanpa batasan ketat).
- Kelompok Nasionalis-Sekuler dan organisasi perempuan (seperti Kowani) yang mendorong monogami dan kesetaraan gender.
- Negara yang ingin menegaskan otoritasnya melalui pencatatan sipil.
Poin Krusial yang Sering Diabaikan
-
Pembatasan Poligami (Pasal 3–5)
- Poligami diizinkan dengan syarat administratif yang ketat (izin pengadilan, persetujuan istri, jaminan nafkah). Namun, dalam praktik, izin poligami sering dikeluarkan tanpa verifikasi mendalam, terutama di pengadilan agama.
- Pasal inilah yang memicu protes kelompok Islam, tetapi akhirnya diterima sebagai kompromi politik.
-
Pencatatan Perkawinan (Pasal 2)
- Perkawinan harus dicatat menurut agama/kepercayaan dan negara. Ini menjadi dasar legalitas hak waris, status anak, dan perceraian. Namun, hingga kini, banyak perkawinan adat/agama tidak tercatat secara resmi, berpotensi merugikan pihak perempuan.
-
Kontroversi Batas Usia Pernikahan
- Awalnya, UU ini membatasi usia minimal perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Pada 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 22/PUU-XV/2017 menyatakan batas usia 16 tahun untuk perempuan inkonstitusional dan menaikkannya menjadi 19 tahun, menyamakan dengan laki-laki.
-
Penyatuan Sistem Hukum
UU ini mencabut aturan kolonial (seperti Regeling op de gemengde Huwelijken) tetapi tetap mengakui hukum agama sebagai dasar sahnya perkawinan. Hal ini menciptakan dualisme: perkawinan sah secara agama belum tentu sah secara negara, dan sebaliknya.
Dampak Sosial & Tantangan Implementasi
-
Perkawinan Campuran (Pasal 57–62)
- UU mewajibkan perkawinan campuran (beda agama/kewarganegaraan) tunduk pada hukum Indonesia. Namun, hingga kini, tidak ada aturan teknis yang jelas, sehingga banyak pasangan terpaksa "konversi agama" atau menikah di luar negeri.
-
Posisi Perempuan dalam Perceraian
- Meski UU mengatur kesetaraan (Pasal 31), dalam praktik, perempuan sering kesulitan mengakses hak cerai di pengadilan agama. Alasan "perselisihan" (Pasal 39) juga multitafsir, rentan disalahgunakan.
-
Uji Materiil oleh MK
- Pada 2010, MK menolak judicial review Pasal 2 ayat (1) yang mewajibkan perkawinan sesuai agama. MK berargumen bahwa aturan ini tidak melanggar HAM karena sudah mengakui perkawinan beda agama melalui interpretasi luas "kepercayaan".
Rekomendasi Strategis untuk Klien
-
Perkawinan Adat/Beda Agama
Pastikan perkawinan dicatat di KUA/Kantor Catatan Sipil untuk menghindari sengketa hak properti dan status anak. Jika perlu, gunakan pendekatan legal opinion atau permohonan dispensasi ke pengadilan. -
Antisipasi Poligami
Perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) dapat dimasukkan klausul yang membatasi poligami dan mengatur pembagian harta, meski secara hukum belum diatur eksplisit dalam UU ini. -
Perlindungan Anak
Manfaatkan Putusan MK No. 22/2017 untuk membatalkan perkawinan di bawah umur dengan mengajukan gugatan ke pengadilan jika diperlukan.
UU No. 1/1974 adalah produk kompromi politik yang masih relevan tetapi perlu ditafsirkan secara progresif, terutama dalam isu HAM dan kesetaraan gender. Pemahaman konteks historis dan celah hukumnya sangat krusial untuk membangun strategi hukum yang efektif.