Analisis UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Perkawinan: Konteks Historis dan Informasi Tambahan
1. Latar Belakang dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
- UU No. 1 Tahun 1974 sebelumnya menetapkan batas usia minimal perkawinan 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Perbedaan ini dinilai diskriminatif dan tidak sejalan dengan prinsip kesetaraan gender serta perlindungan anak.
- Pada 2018, MK melalui Putusan No. 22/PUU-XV/2017 menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan inkonstitusional karena melanggar hak anak (terutama perempuan) atas kesehatan, pendidikan, dan perlindungan dari eksploitasi. MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk merevisi batas usia perkawinan dalam waktu 3 tahun.
- UU No. 16 Tahun 2019 lahir sebagai respons atas putusan tersebut, menaikkan batas usia perkawinan perempuan menjadi 19 tahun (setara dengan laki-laki).
2. Dampak Sosial dan Kesehatan
- Tingginya Angka Pernikahan Anak: Sebelum revisi, Indonesia menempati peringkat 8 tertinggi dunia dalam pernikahan anak (UNICEF, 2016). Pernikahan dini berkorelasi dengan risiko kematian ibu dan bayi, putus sekolah, kemiskinan, serta kekerasan dalam rumah tangga.
- Penurunan Laju Kelahiran: Dengan menaikkan batas usia, diharapkan terjadi penurunan angka kelahiran remaja, yang selama ini menyumbang 11% kematian ibu (BKKBN, 2019).
3. Perlindungan Hak Anak dan Pendidikan
- UU ini memperkuat komitmen Indonesia terhadap Konvensi Hak Anak (CRC) dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
- Dengan menunda perkawinan, anak perempuan diharapkan dapat menyelesaikan pendidikan minimal SMA, meningkatkan partisipasi ekonomi, dan mengurangi ketergantungan finansial.
4. Tantangan Implementasi
- Dispensasi Perkawinan: Meski batas usia dinaikkan, Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan masih membuka ruang dispensasi melalui pengadilan. Data Mahkamah Agung (2022) menunjukkan ≥70% permohonan dispensasi dikabulkan, terutama dengan alasan kehamilan di luar nikah atau tekanan ekonomi.
- Budaya dan Norma Lokal: Praktik perkawinan anak masih dianggap solusi atas kemiskinan atau cara menjaga "kehormatan" keluarga di beberapa daerah.
5. Konteks Global dan SDGs
- Revisi ini selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030, khususnya Target 5.3 (menghapus praktik perkawinan anak) dan Target 3.1 (menurunkan angka kematian ibu).
- Indonesia juga mendapat apresiasi dari badan internasional seperti UNICEF dan UN Women atas langkah progresif ini.
6. Catatan Kritis
- Perlunya Sosialisasi Intensif: Masyarakat, terutama di daerah pedesaan, perlu dipahamkan tentang dampak negatif perkawinan anak dan hak-hak perempuan.
- Revisi Peraturan Pelaksana: Perlu harmonisasi dengan peraturan teknis (seperti PP No. 9 Tahun 1975) dan panduan jelas bagi hakim dalam mengevaluasi dispensasi.
Kesimpulan: UU No. 16 Tahun 2019 adalah terobosan hukum yang mereformasi paradigma perkawinan dari sekadar "kebutuhan biologis" menjadi investasi jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia. Namun, efektivitasnya bergantung pada sinergi pemerintah, lembaga peradilan, dan masyarakat.