Berikut analisis mendalam mengenai Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis
-
Penggantian ICW (Indische Comptabiliteitswet) 1925
UU ini menggantikan sistem warisan kolonial Belanda (ICW) yang dianggap tidak lagi relevan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola keuangan modern pasca-Reformasi 1998. ICW dinilai terlalu kaku, berorientasi pada pengawasan administratif semata, dan tidak mengakomodasi otonomi daerah sesuai UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. -
Respons atas Krisis Moneter 1998
Lahir dalam rangka reformasi sistem keuangan negara pasca-krisis, terutama untuk memperkuat kerangka hukum pengelolaan APBN/APBD, utang-piutang negara, dan aset negara yang sebelumnya rentan penyalahgunaan. -
Harmonisasi dengan UU Keuangan Negara
UU ini merupakan implementasi lebih lanjut dari UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara yang mengamanatkan pembaruan sistem perbendaharaan untuk mendukung prinsip value for money dan pengelolaan keuangan berbasis kinerja.
Inovasi & Signifikansi
-
Penguatan Peran Bendahara Umum Negara (BUN)
- Membedakan secara tegas antara otorisasi anggaran (oleh DPR/D) dan pelaksanaan teknis oleh BUN, mengurangi risiko konflik kepentingan.
- Memperkenalkan mekanisme Single Treasury Account (STA) untuk konsolidasi kas negara, meminimalkan idle cash dan meningkatkan efisiensi likuiditas.
-
Pengelolaan Utang dan Investasi yang Terstruktur
- Utang negara harus ditujukan untuk pembiayaan produktif, bukan untuk menutup defisit rutin (Pasal 5).
- Investasi negara diatur secara spesifik, termasuk penyertaan modal pada BUMN/BUMD (Pasal 6), sebagai upaya optimalisasi aset.
-
Larangan Penyitaan Aset Negara (Pasal 8)
- Aset negara/daerah tidak dapat disita oleh pihak manapun, kecuali dalam kondisi khusus yang diatur terpisah. Ketentuan ini melindungi aset publik dari risiko sengketa hukum perdata.
-
Badan Layanan Umum (BLU)
- BLU (Pasal 12) menjadi terobosan untuk instansi pemerintah yang memberikan layanan publik (seperti RS pemerintah/PTN) agar memiliki fleksibilitas pengelolaan keuangan layaknya korporasi, tanpa mengubah status sebagai instansi negara.
-
Pertanggungjawaban Kerugian Negara
- Pasal 11 mengatur mekanisme tuntutan ganti rugi terhadap pejabat yang lalai, mempertegas prinsip personal liability dalam pengelolaan keuangan negara.
Tantangan Implementasi
-
Overlap dengan UU Lain
- Perlu harmonisasi dengan UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Keuangan dan UU No. 15/2006 tentang BPK, terutama dalam hal audit kinerja dan pengawasan.
-
Kompleksitas Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN)
- Meski diatur di Pasal 7, implementasi pendataan BMN masih terkendala sistem inventarisasi yang terfragmentasi antarinstansi.
-
Resistensi Birokrasi
- Transisi dari sistem ICW ke UU ini membutuhkan perubahan mindset aparat dari budaya "administratif-kolonial" ke orientasi kinerja dan akuntabilitas.
Dampak terhadap Praktek Hukum
-
Legalisasi Prinsip-Prinsip Good Governance
UU ini menjadi dasar gugatan pidana korupsi terkait penyimpangan keuangan negara (e.g., kerugian negara dalam kasus BLBI atau korupsi proyek APBD). -
Pemisahan Kekuasaan yang Jelas
- Pejabat perbendaharaan (BUN) tidak boleh merangkap sebagai pengguna anggaran (PA/KPA), mencegah konsentrasi wewenang yang berpotensi koruptif.
-
Pendekatan Preventif melalui SPI
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) di Pasal 10 menjadi dasar hukum audit internal dan manajemen risiko di instansi pemerintah.
Catatan Kritis
- UU ini belum sepenuhnya mengadopsi standar akuntansi pemerintahan berbasis accrual basis (baru diimplementasikan penuh pada 2015 melalui PP No. 71/2010).
- Pengaturan BLU masih perlu diperkuat, terutama terkait transparansi laporan keuangan dan pengawasan dana publik yang dikelola secara semi-komersial.
UU No. 1/2004 merupakan landasan konstitusional reformasi keuangan negara Indonesia pasca-Orde Baru, dengan semangat menjadikan APBN/APBD sebagai instrumen kesejahteraan, bukan sekadar dokumen administratif.