Berikut analisis mendalam mengenai Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan beserta konteks historis dan informasi kritis yang perlu diketahui:
Konteks Historis & Politik
-
Era Transisi Politik:
UU ini lahir pada awal pemerintahan Orde Baru (1967) di bawah Presiden Soeharto, menggantikan UU No. 37 Prp Tahun 1960 yang berlaku di era Sukarno. Orde Baru berfokus pada pemulihan ekonomi melalui eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan investasi asing, terutama setelah krisis ekonomi dan hiperinflasi di akhir era Orde Lama. -
Paradigma Ekonomi:
UU ini mencerminkan kebijakan ekonomi terbuka untuk menarik investor asing di sektor pertambangan. Pertimbangan utamanya adalah mempercepat pembangunan nasional dengan memanfaatkan SDA sebagai tulang punggung ekonomi, sekaligus menjauhkan Indonesia dari pengaruh komunisme pasca-G30S 1965.
Substansi Krusial yang Perlu Dipahami
-
Dominasi Negara dengan Kemitraan Swasta:
- Pasal 1 menegaskan kekuasaan negara atas semua bahan galian, tetapi memberikan ruang bagi swasta (termasuk asing) melalui sistem Kuasa Pertambangan (KP).
- Ini menjadi dasar masuknya perusahaan asing seperti Freeport (tambang tembaga Papua, 1967) dan kontrak karya migas dengan ExxonMobil.
-
Klasifikasi Bahan Galian:
- Bahan galian dikategorikan sebagai strategis (nasional), vital (penting untuk hajat hidup), dan bukan strategis/vital. Klasifikasi ini menentukan tingkat kontrol pemerintah dan prioritas eksploitasi.
-
Sentralisasi Kewenangan:
Kewenangan pertambangan terpusat di pemerintah pusat (Menteri Pertambangan), minim peran daerah. Hal ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang kemudian diatur dalam UU No. 32/2004.
Dampak & Kontroversi
-
Eksploitasi SDA Masif:
UU ini membuka pintu investasi asing besar-besaran, tetapi royalti dan manfaat ekonomi untuk negara relatif rendah. Contoh: Kontrak karya Freeport hanya memberi 1-3% royalti ke pemerintah Indonesia. -
Isu Lingkungan & Sosial:
Regulasi lingkungan belum diatur secara ketat, menyebabkan degradasi lingkungan (misal: limbah tailing Freeport) dan konflik dengan masyarakat adat. -
Ketimpangan Pengawasan:
Minimnya transparansi dalam pemberian KP memicu praktik KKN, termasuk kasus "mafia tambang" yang marak di era 1990-an.
Alasan Pencabutan & Relevansi Saat Ini
-
Dicabut oleh UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara:
- UU No. 11/1967 dianggap tidak lagi sesuai dengan prinsip tata kelola SDA berkelanjutan, otonomi daerah, dan keadilan sosial.
- UU No. 4/2009 memperkenalkan sistem Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan mewajibkan pemurnian mineral di dalam negeri (downstreaming).
-
Warisan Hukum:
Meski tidak berlaku, UU No. 11/1967 menjadi fondasi kebijakan pertambangan modern Indonesia. Beberapa kontrak karya yang lahir dari UU ini (misal: Freeport) masih berlaku dengan negosiasi ulang.
Poin Kritis untuk Legal Practice
- Due Diligence: Dalam transaksi tambang, pastikan status hukum KP/Kontrak Karya peninggalan UU ini telah disesuaikan dengan UU No. 4/2009 dan perubahannya (UU No. 3/2020).
- Sengketa Lahan: Banyak kasus sengketa tanah tambang bermula dari pemberian KP era Orde Baru yang tidak melibatkan konsultasi publik.
- Aspek Lingkungan: Gunakan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai dasar gugatan atas kerusakan lingkungan dari aktivitas tambang masa lalu.
Semoga analisis ini memberikan perspektif holistik dalam menangani kasus terkait hukum pertambangan warisan UU No. 11/1967.