Analisis Hukum Terkait UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Berikut konteks historis dan informasi tambahan yang perlu diketahui mengenai UU ini:
Latar Belakang Penggantian UU No. 11 Tahun 1967
-
Era Orde Baru vs Reformasi
- UU No. 11/1967 dibuat pada masa Orde Baru dengan fokus pada eksploitasi sumber daya untuk menarik investasi asing, tetapi minim perlindungan lingkungan, hak masyarakat adat, dan transparansi pengelolaan.
- Pasca-Reformasi (1998), tuntutan desentralisasi dan penguatan kedaulatan nasional atas SDA mendorong pembaruan hukum pertambangan yang lebih berkeadilan, berkelanjutan, dan mengakomodasi kepentingan daerah.
-
Tuntutan Global dan Nasional
- Kritik Internasional: Tekanan global terhadap praktik pertambangan yang merusak lingkungan dan tidak berkelanjutan.
- Kedaulatan SDA: Semangat Pasal 33 UUD 1945 agar penguasaan mineral/batubara oleh negara memberi manfaat maksimal bagi rakyat.
Perubahan Utama dalam UU No. 4/2009
-
Penataan Kewenangan Pusat-Daerah
- Kewenangan pengelolaan pertambangan dibagi antara pemerintah pusat (WP Nasional) dan daerah (WP Provinsi/Kabupaten) untuk menghindari tumpang-tindih izin dan eksploitasi berlebihan.
-
Sistem Perizinan Terintegrasi
- Izin Usaha Pertambangan (IUP): Diperkenalkan sebagai pengganti Kuasa Pertambangan (KP), dengan syarat lebih ketat, termasuk analisis dampak lingkungan (AMDAL), rencana reklamasi, dan divestasi saham bagi pemegang IUP asing.
- Izin Pertambangan Rakyat (IPR): Mengakomodasi aktivitas pertambangan tradisional dengan batasan wilayah dan produksi.
-
Nilai Tambah dan Hilirisasi
- Larangan Ekspor Bahan Mentah: Pasal 102 mewajibkan pemegang IUP melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) di dalam negeri untuk meningkatkan nilai ekonomi. Aturan ini memicu pembangunan smelter, meski menuai protes karena biaya tinggi.
-
Divestasi Saham
- Perusahaan asing wajib melepas saham secara bertahap kepada pemerintah/daerah/swasta Indonesia (minimal 51% setelah 10 tahun operasi).
-
Aspek Lingkungan dan Sosial
- Kewajiban reklamasi, dana jaminan pascatambang, serta program pengembangan masyarakat sekitar (CSR) sebagai bagian dari izin.
Tantangan Implementasi
-
Tumpang Tindih Regulasi
- Otonomi daerah menyebabkan disharmoni perizinan antara pusat dan daerah, memicu konflik lahan dan illegal mining.
-
Kompleksitas Hilirisasi
- Kewajiban smelter dianggap memberatkan perusahaan kecil. Pemerintah kemudian mengeluarkan relaksasi melalui PP No. 1/2017 dan UU Cipta Kerja (2020).
-
Sengketa Lahan dan Lingkungan
- Maraknya konflik antara perusahaan tambang dengan masyarakat lokal, terutama terkait alih fungsi lahan dan dampak ekologis.
-
Penegakan Hukum Lemah
- Masih banyak pelanggaran, seperti ekspor mineral mentah ilegal dan ketidakpatuhan reklamasi, yang sulit diawasi akibat keterbatasan SDM pemerintah.
Regulasi Turunan Penting
- PP No. 23/2010: Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan.
- PP No. 22/2010: Wilayah pertambangan dan tata cara penetapan WP.
- PP No. 9/2012: Tata cara pemungutan PNBP sektor pertambangan.
Signifikansi dalam Pembangunan Nasional
UU ini menjadi landasan transformasi kebijakan pertambangan Indonesia dari orientasi ekstraktif ke pembangunan berkelanjutan. Meski masih terdapat kelemahan implementasi, UU No. 4/2009 merefleksikan upaya menyeimbangkan kepentingan investasi, lingkungan, dan keadilan sosial.