Analisis Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
Konteks Historis dan Latar Belakang
-
Akar Kontroversi UU Cipta Kerja 2020
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) disahkan DPR pada 5 Oktober 2020 melalui proses omnibus law yang menggabungkan perubahan atas 79 UU sektoral. Proses ini menuai kritik karena dianggap terburu-buru, kurang transparan, dan minim partisipasi publik.
- UU ini memicu protes besar-besaran dari buruh, aktivis lingkungan, dan masyarakat sipil yang menilai klaster ketenagakerjaan (seperti upah minimum, pesangon, dan kontrak kerja) serta pelonggaran perlindungan lingkungan (misalnya AMDAL) merugikan hak rakyat.
-
Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020
- Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat karena cacat formil (proses pembentukan tidak memenuhi syarat partisipasi publik yang bermakna). MK memerintahkan revisi dalam 2 tahun. Jika tidak, UU Ciptaker 2020 menjadi permanen inkonstitusional.
- Pemerintah tidak merevisi UU tersebut sesuai putusan MK, tetapi justru menerbitkan Perpu No. 2/2022 pada 30 Desember 2022 dengan alasan "kebutuhan mendesak" (urgent necessity) untuk mencegah krisis ekonomi dan investasi.
Alasan Penerbitan Perpu (Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945)
Pemerintah beralasan bahwa kondisi darurat ekonomi pasca-pandemic COVID-19 dan ancaman resesi global memerlukan kepastian hukum bagi investor. Namun, penggunaan Perpu ini dipertanyakan karena:
- Kritik Legal: MK telah memberi waktu 2 tahun untuk revisi, sehingga "kedaruratan" dianggap tidak relevan.
- Politik Hukum: Perpu digunakan untuk mengakali proses legislatif normal dan menghindari partisipasi DPR/rakyat.
Substansi Perpu No. 2/2022
Perpu ini mengadopsi hampir seluruh materi UU Ciptaker 2020 dengan beberapa perubahan minor, mencakup:
- Ketenagakerjaan: Penyederhanaan skema upah, fleksibilitas kontrak kerja, dan pengurangan kewajiban pesangon.
- Lingkungan: Pelonggaran persyaratan AMDAL dan izin berusaha berbasis risiko.
- Investasi: Percepatan perizinan melalui sistem OSS (Online Single Submission), insentif fiskal, dan kemudahan akuisisi lahan.
- UMKM: Pemberdayaan melalui akses pendanaan dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat.
Kontroversi dan Tantangan Hukum
-
Uji Materiil ke MK
- Beberapa pihak (termasuk serikat buruh dan LSM) mengajukan uji materiil Perpu ini ke MK (Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023). Mereka menilai penerbitan Perpu melanggar Pasal 22 UUD 1945 karena tidak memenuhi syarat "kegentingan yang memaksa".
- Status Perpu: Hingga kini, MK belum memutus perkara tersebut. Jika Perpu dinyatakan inkonstitusional, pemerintah wajib mencabutnya dan DPR tidak boleh mengesahkannya menjadi UU.
-
Ratifikasi oleh DPR
- Berdasarkan Pasal 22 Ayat 2 UUD 1945, Perpu harus disahkan DPR dalam sidang berikutnya. Namun, hingga Juli 2024, DPR belum membahas ratifikasi Perpu ini. Jika tidak disahkan, Perpu tetap berlaku tetapi dapat dicabut sewaktu-waktu.
Implikasi bagi Stakeholder
- Investor: Kepastian hukum meningkat, tetapi risiko konflik sosial-lingkungan tetap tinggi.
- Buruh: Kesejahteraan terancam akibat pelemahan perlindungan tenaga kerja.
- Pemerintah Daerah: Kewenangan perizinan dan pengawasan lingkungan semakin terpusat di pemerintah pusat.
Rekomendasi Strategis
- Bagi Pelaku Usaha: Manfaatkan insentif investasi, tetapi perhatikan potensi backlash sosial dan keberlanjutan lingkungan.
- Bagi Buruh/Serikat Pekerja: Lakukan advokasi melalui jalur hukum dan tekanan politik untuk revisi klaster ketenagakerjaan.
- Bagi Pemerintah: Transparankan data dampak ekonomi Perpu ini dan libatkan partisipasi publik dalam proses ratifikasi.
Catatan Penting: Meski berstatus "Berlaku", legitimasi Perpu No. 2/2022 masih rentan secara konstitusional. Perkembangan uji materiil di MK perlu dipantau ketat.