Analisis UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
Konteks Historis
-
Penggantian Regulasi Kolonial
UU ini menggantikan aturan warisan kolonial Belanda, seperti Drijfsreglementerings Ordonnantie 1934 (Staatsblad 1938 No. 86), yang dinilai tidak lagi relevan dengan dinamika ekonomi modern Indonesia. Penghapusan aturan kolonial ini menegaskan komitmen Indonesia untuk membangun sistem perdagangan yang berdaulat dan berorientasi pada kepentingan nasional. -
Respons terhadap Globalisasi
Pada era 2000-an, Indonesia menghadapi tekanan globalisasi, termasuk liberalisasi pasar melalui kesepakatan WTO dan meningkatnya perdagangan digital. UU No. 7/2014 dirancang untuk mengantisipasi tantangan ini sekaligus melindungi ekonomi domestik, terutama UMKM dan koperasi, yang menjadi tulang punggung perekonomian. -
Reformasi Ekonomi Pasca-Krisis 1998
UU ini juga merupakan bagian dari agenda reformasi ekonomi pasca-krisis moneter 1998, yang menekankan prinsip demokrasi ekonomi dan pemerataan melalui kebijakan perdagangan yang berpihak pada rakyat. Hal ini sejalan dengan TAP MPR No. XVI/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi.
Aspek Krusial yang Perlu Diketahui
-
Proteksi Ekonomi Kerakyatan
UU ini secara eksplisit memprioritaskan pemberdayaan koperasi dan UMKM melalui kebijakan afirmatif, seperti kemudahan akses pasar, pendanaan, dan perlindungan dari dominasi pasar oleh korporasi besar. Ini merupakan respons atas kesenjangan struktural yang terjadi selama Orde Baru. -
Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
UU memperkenalkan kerangka standardisasi barang/jasa untuk menjamin kualitas, keamanan, dan keberlanjutan lingkungan. Ini menjadi dasar hukum bagi SNI (Standar Nasional Indonesia) dan pengawasan produk impor. -
Perdagangan Elektronik (E-Commerce)
UU No. 7/2014 adalah salah satu regulasi pertama yang mengakomodasi perdagangan digital, meski pengaturannya masih umum. Ini menjadi fondasi bagi turunan regulasi seperti Peraturan Menteri Perdagangan No. 50/2020 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. -
Mekanisme Anti-Dumping dan Safeguard
UU mengatur tindakan pengamanan perdagangan (trade remedies), seperti anti-dumping dan bea masuk imbalan (countervailing duties), untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik perdagangan tidak sehat.
Kontroversi dan Tantangan Implementasi
-
Tumpang Tindih Kewenangan Pusat-Daerah
UU ini kerap berbenturan dengan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, terutama terkait kewenangan pengawasan perdagangan antarwilayah. Contohnya, aturan izin usaha perdagangan (SIUP) sering dianggap menghambat investasi di daerah. -
Proteksionisme vs. Keterbukaan Pasar
Kebijakan pembatasan impor dan proteksi UMKM menuai kritik dari pelaku usaha global yang menganggap Indonesia tidak konsisten dengan komitmen perdagangan bebas (misalnya dalam ASEAN Economic Community). -
Implementasi yang Parsial
Sejumlah pasal belum efektif karena minimnya regulasi turunan. Misalnya, Pasal 83 tentang Komite Perdagangan Nasional baru dioperasionalkan melalui Perpres No. 26/2018, namun perannya masih terbatas.
Perkembangan Pasca-2014
- UU ini diamendemen sebagian oleh UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja, terutama terkait penyederhanaan perizinan dan penguatan ekosistem digital.
- Isu perdagangan modern (seperti marketplace asing dan transaksi kripto) memicu revisi RUU Perdagangan baru yang sedang dibahas DPR (2023).
Rekomendasi Strategis bagi Klien:
- UMKM/Koperasi: Manfaatkan skema afirmatif dalam UU ini, seperti pendaftaran sertifikasi produk dan akses ke program pemerintah (e.g., Pameran Dagang Nasional).
- Pelaku E-Commerce: Pastikan kepatuhan terhadap aturan label, standar, dan pajak transaksi elektronik yang diatur dalam turunan UU ini.
- Investor Asing: Perhatikan ketentuan trade remedies dan batasan kepemilikan asing di sektor tertentu untuk mitigasi risiko hukum.
UU No. 7/2014 mencerminkan upaya Indonesia menyeimbangkan liberalisasi pasar dengan proteksi ekonomi kerakyatan, meski implementasinya masih memerlukan sinkronisasi kebijakan yang lebih matang.