Analisis Mendalam terhadap UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Konteks Historis
-
Era New Order dan Tekanan Global
UU ini lahir pada masa akhir pemerintahan Orde Baru (1997), di mana Indonesia sedang berupaya memperkuat komitmennya terhadap perjanjian internasional, khususnya Konvensi Psikotropika 1971 (United Nations Convention on Psychotropic Substances). Pemerintah perlu menyesuaikan hukum domestik untuk memenuhi kewajiban sebagai anggota PBB, termasuk pengendalian zat-zat yang memengaruhi sistem saraf pusat. -
Kesenjangan Regulasi Sebelum 1997
Sebelum UU No. 5/1997, regulasi psikotropika tercampur dengan narkotika dalam UU No. 9 Tahun 1976. Padahal, psikotropika memiliki karakteristik berbeda: efeknya lebih pada gangguan mental (halusinasi, perubahan mood) dibandingkan efek analgesik/penghilang rasa sakit pada narkotika. UU ini hadir untuk mengisi kekosongan hukum sekaligus membedakan penanganan kedua kategori zat tersebut. -
Maraknya Penyalahgunaan Zat Sintetis
Pada 1990-an, Indonesia mulai menghadapi gelombang penyalahgunaan zat sintetis seperti ekstasi dan amphetamin, yang masuk kategori psikotropika. UU ini menjadi respons untuk mengontrol produksi dan distribusi zat-zat tersebut, terutama dari industri farmasi ilegal.
Poin Krusial yang Sering Terlewatkan
-
Klasifikasi Psikotropika ke dalam 4 Golongan
UU No. 5/1997 membagi psikotropika berdasarkan risiko ketergantungan dan manfaat medis:- Golongan I: Zat dengan risiko adiksi tinggi dan tidak diakui manfaat medisnya (contoh: LSD, MDMA/ekstasi).
- Golongan II–IV: Zat dengan risiko adiksi menurun tetapi masih memiliki manfaat terbatas untuk medis (contoh: diazepam, barbiturat).
Klasifikasi ini mengacu pada standar WHO dan menjadi dasar pelarangan/pembatasan penggunaan.
-
Peran Industri Farmasi
UU ini mengatur secara ketat produksi dan distribusi psikotropika untuk kepentingan medis, termasuk kewajiban izin khusus dari Menteri Kesehatan. Hal ini memengaruhi praktik farmasi dan rumah sakit, yang harus memastikan penggunaan psikotropika tidak bocor ke pasar gelap. -
Sanksi yang Berbeda dengan Narkotika
Meski dianggap "lebih ringan" daripada narkotika, sanksi pidana untuk psikotropika tetap berat:- Pemakai: Rehabilitasi (jika korban penyalahgunaan) atau pidana penjara hingga 5 tahun.
- Produsen/Pengedar: Hukuman penjara 5–20 tahun, bahkan hukuman mati dalam kasus tertentu.
Namun, UU ini juga memberi ruang bagi pemakai untuk direhabilitasi, yang menjadi preseden bagi UU Narkotika No. 35/2009.
Tantangan Implementasi & Perkembangan Hukum
-
Tumpang Tindih dengan UU Narkotika
Meski UU No. 5/1997 masih berlaku, pengaturan psikotropika sering kali tumpang tindih dengan UU No. 35/2009 tentang Narkotika. Misalnya, beberapa zat (seperti amphetamine) diatur dalam kedua UU, sehingga menimbulkan kebingungan dalam penegakan hukum. -
Revisi yang Tertunda
Sejak 1997, belum ada revisi signifikan terhadap UU ini. Padahal, perkembangan zat psikoaktif baru (new psychoactive substances/NPS) seperti synthetic cannabinoids membutuhkan pembaruan klasifikasi. -
Kritik atas Pendekatan Hukum Pidana
Aktivis HAM dan pakar kesehatan mengkritik UU ini karena masih terlalu mengedepankan hukuman penjara daripada pendekatan kesehatan masyarakat. Hal ini kontras dengan tren global yang mulai mengalihkan penyalahguna narkotika/psikotropika ke rehabilitasi.
Pengaruh Internasional
- UU No. 5/1997 menjadi dasar Indonesia untuk berpartisipasi dalam INCB (International Narcotics Control Board) dan program PBB untuk pemberantasan narkoba.
- Regulasi ini juga memperkuat kerja sama Indonesia dengan negara ASEAN lain dalam mengatasi perdagangan gelap psikotropika.
Rekomendasi untuk Klien
- Pelaku Usaha Farmasi: Pastikan izin produksi/distribusi psikotropika sesuai ketentuan Kemenkes, termasuk pelaporan rutin.
- Kasus Pidana: Manfaatkan pasal rehabilitasi (Pasal 38) untuk klien penyalahguna, terutama jika terbukti sebagai korban ketergantungan.
- Antisipasi Revisi UU: Pantau perkembangan RUU tentang Narkotika dan Psikotropika yang mungkin mengubah skema pengawasan.
UU No. 5/1997 tetap relevan sebagai instrumen hukum untuk mengendalikan psikotropika, tetapi perlu adaptasi terhadap dinamika zat adiktif dan pendekatan penegakan hukum yang lebih manusiawi.