Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman beserta konteks historis dan informasi pendukung yang relevan:
Konteks Historis
-
Latar Belakang Penggantian UU No. 4 Tahun 1992
- UU ini lahir sebagai respons atas kesenjangan akses perumahan layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), terutama di perkotaan.
- Perkembangan urbanisasi yang pesat (sekitar 4,1% per tahun pada era 2000-an) menyebabkan tekanan pada ketersediaan perumahan terjangkau dan peningkatan kawasan kumuh.
- UU No. 4/1992 dianggap tidak lagi memadai karena belum mengatur partisipasi swasta secara komprehensif, mekanisme pendanaan inovatif, serta pendekatan berbasis kawasan.
-
Isu Sosial-Ekonomi yang Melatarbelakangi
- Pada 2010, defisit perumahan Indonesia mencapai 5,4 juta unit, dengan 70% kebutuhan berasal dari MBR.
- Kawasan kumuh meluas hingga 29.000 hektare (data BPS 2010), memicu masalah kesehatan, lingkungan, dan sosial.
- Desakan global (MDGs/SDGs) untuk memenuhi hak dasar perumahan layak sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM).
Poin Krusial yang Perlu Diketahui
-
Paradigma Baru
- Hunian Berimbang (Pasal 34): Pengembang wajib menyediakan 20-30% unit rumah sederhana dalam proyek komersial.
- Konsolidasi Tanah (Pasal 96): Mekanisme penyediaan tanah melalui kerja sama masyarakat-pemerintah-swasta untuk menghindari spekulasi tanah.
-
Instrumen Pendukung
- Dana FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan): Subsidi KPR bersubsidi untuk MBR melalui bank pelaksana (contoh: BTN).
- Sistem Infomasi Perumahan (Pasal 130): Basis data terintegrasi untuk transparansi alokasi perumahan.
-
Sanksi dan Penegakan Hukum
- Sanksi Administratif (Pasal 149): Pencabutan izin bagi pengembang yang melanggar ketentuan hunian berimbang.
- Sanksi Pidana (Pasal 153): Hukuman penjara hingga 5 tahun bagi pelaku yang sengaja merusak lingkungan permukiman.
Tantangan Implementasi
-
Regulasi Turunan yang Belum Komprehensif
- Sebagian Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) turunan masih tertunda, misalnya PP tentang Hunian Khusus (Pasal 25).
-
Konflik Lahan dan Kepentingan
- Proyek perumahan sosial sering terbentur alih fungsi lahan dan resistensi masyarakat lokal (contoh: kasus Rusunawa Marunda).
-
Keterbatasan Anggaran
- Alokasi APBN untuk sektor perumahan hanya 0,3-0,5% dari total APBN (2011-2020), jauh di bawah kebutuhan riil.
Regulasi Terkait
- UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja: Mempercepat perizinan perumahan melalui penyederhanaan administrasi.
- PP No. 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan: Mengatur skema KPR bersubsidi dan peran BUMN dalam penyediaan perumahan.
- Permen PUPR No. 07/PRT/M/2018: Standar teknis rumah layak huni.
Rekomendasi Strategis
- Optimalisasi Peran Pemda: Koordinasi antar-dinas (PUPR, BPN, Lingkungan Hidup) untuk penataan kawasan terpadu.
- Inovasi Pendanaan: Skema crowdfunding atau sukuk perumahan untuk menarik investasi swasta.
- Pemantauan Partisipatif: Melibatkan LSM dan akademisi dalam audit program perumahan sosial.
UU No. 1/2011 menjadi landasan transformatif untuk mewujudkan keadilan sosial di sektor perumahan, meski perlu didukung komitmen politik dan anggaran yang memadai.