Analisis UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Konteks Historis
Sebelum UU ini lahir, pengadaan tanah di Indonesia diatur melalui Perpres No. 65 Tahun 2006 dan PP No. 65 Tahun 2006, yang dinilai tidak memadai karena:
- Tumpang tindih regulasi antara UU Pokok Agraria (UU No. 5/1960) dan peraturan turunannya.
- Mekanisme ganti rugi tidak jelas, memicu konflik antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat.
- Tingginya resistensi masyarakat akibat minimnya partisipasi publik dalam proses pengadaan tanah.
UU No. 2/2012 muncul sebagai respons atas kebutuhan reformasi hukum untuk memastikan pembangunan infrastruktur (jalan tol, bendungan, dll.) tidak terhambat sambil menjamin hak masyarakat terdampak.
Inovasi Utama dalam UU Ini
-
Prinsip Keadilan dan Kemanusiaan
- Ganti kerugian harus layak dan adil, termasuk nilai ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan tanah.
- Mekanisme negosiasi partisipatif wajin melibatkan pemilik tanah, pemerintah, dan pihak terkait.
-
Perencanaan Terintegrasi
Pengadaan tanah harus selaras dengan RTRW dan rencana pembangunan nasional/daerah, menghindari tumpang tindih proyek atau pelanggaran tata ruang. -
Lembaga Penjamin
Dibentuknya Panitia Pengadaan Tanah (PTP) sebagai mediator independen untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. -
Pendanaan Jelas
Pemerintah wajib mengalokasikan dana khusus untuk pengadaan tanah, diatur melalui Perpres No. 71 Tahun 2012.
Fakta Penting yang Sering Diabaikan
-
Putusan MK Tahun 2011
UU ini lahir setelah Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 21/PUU-VIII/2010 menyatakan PP No. 65/2006 inkonstitusional karena tidak menjamin hak masyarakat. -
Pengaruh Global
Reformasi ini sejalan dengan prinsip "Free, Prior, and Informed Consent" (FPIC) yang diadvokasi Bank Dunia untuk proyek infrastruktur berkelanjutan. -
Ganti Rugi Non-Materiil
UU mengakui nilai non-ekonomi tanah (misalnya: makam leluhur, lahan adat) yang bisa dikompensasi dalam bentuk relokasi atau bentuk lain. -
Sengketa yang Masih Berlanjut
Meski UU ini progresif, kasus seperti pembangunan Bandara Kulon Progo dan Bendungan Jatigede menunjukkan tantangan implementasi, terutama terkait penilaian ganti rugi.
Regulasi Pendukung
- Perpres No. 71/2012: Mekanisme pendanaan dan alur pengadaan tanah.
- Permen ATR No. 5/2017: Penilaian ganti kerugian berbasis Nilai Nilai Obyek Pajak (NJOP) dan faktor spesifik lokasi.
Kritik dan Tantangan
-
Penetapan "Kepentingan Umum"
Kritikus menilai definisi "kepentingan umum" terlalu luas, berpotensi disalahgunakan untuk proyek komersial (misalnya: hotel atau mal). -
Keterbatasan Anggaran
Alokasi dana sering tidak mencukupi, menyebabkan pembayaran ganti rugi tertunda. -
Konflik Horizontal
Proses musyawarah kadang memicu perselisihan antarwarga terkait klaim kepemilikan tanah.
Rekomendasi Praktis untuk Klien
- Pastikan dokumen kepemilikan tanah (sertifikat, girik) lengkap sebelum terlibat dalam proses pengadaan.
- Manfaatkan mediasi PTP untuk negosiasi ganti rugian.
- Jika dirugikan, ajukan keberatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) dalam 90 hari sejak penetapan ganti rugi.
UU No. 2/2012 adalah langkah maju, tetapi efektivitasnya bergantung pada konsistensi pemerintah dan kesadaran masyarakat akan hak-haknya.