Analisis UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Konteks Historis
-
Era Orde Baru dan Sentralisasi Koperasi
UU ini lahir di bawah pemerintahan Orde Baru (1966–1998) yang menjadikan koperasi sebagai "soko guru perekonomian" sesuai Pasal 33 UUD 1945. Namun, dalam praktiknya, koperasi sering dijadikan alat politik untuk mengonsolidasi kekuasaan melalui program pembangunan top-down. Pemerintah mendominasi melalui pembinaan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, sehingga prinsip otonomi koperasi (voluntary, demokratis, mandiri) kerap terabaikan. -
Asas Kekeluargaan yang Ambigu
UU ini mendefinisikan koperasi berdasarkan asas kekeluargaan (Pasal 2), tetapi tidak dijelaskan secara operasional. Hal ini menimbulkan multitafsir, seperti campur tangan pemerintah atau kepentingan elit lokal dalam pengambilan keputusan koperasi. -
Kritik terhadap Dualisme Fungsi
Koperasi di era ini sering terjebak dalam dualisme: di satu sisi sebagai lembaga ekonomi, di sisi lain sebagai alat mobilisasi massa untuk mendukung program pemerintah (misalnya, KUD/Koperasi Unit Desa yang dikendalikan untuk distribusi pupuk dan beras).
Kelemahan Substantif
-
Regulasi yang Sentralistik
- Pembinaan oleh Pemerintah (Pasal 4): Kewenangan berlebihan di tangan negara, seperti penetapan anggaran dasar koperasi (Pasal 12) dan pembubaran koperasi oleh Menteri (Pasal 55). Hal ini bertentangan dengan prinsip kemandirian koperasi.
- Koperasi Sekunder Wajib (Pasal 21): Koperasi diwajibkan bergabung dengan koperasi sekunder, menciptakan struktur birokratis yang tidak efisien.
-
Minimnya Perlindungan terhadap Anggota
Tidak ada mekanisme jelas untuk mencegah penyalahgunaan dana atau konflik internal. Misalnya, tidak diatur tentang transparansi laporan keuangan atau sanksi bagi pengurus yang lalai. -
Tidak Mengakui Koperasi Berbasis Komunitas
UU ini kurang mengakomodasi koperasi berbasis budaya lokal (seperti arisan atau koperasi adat) yang berkembang secara organik di masyarakat.
Perubahan Pasca-Reformasi
UU No. 25/1992 dicabut dan digantikan oleh UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dengan beberapa perubahan mendasar:
- Penegasan Prinsip Otonomi: Koperasi dikelola secara mandiri tanpa intervensi negara (Pasal 5 UU 17/2012).
- Pemisahan Koperasi dari Kepentingan Politik: Larangan penggunaan koperasi untuk kampanye partai politik (Pasal 6).
- Penguatan Perlindungan Anggota: Diatur mekanisme pengawasan internal, audit independen, dan sanksi pidana bagi pengurus yang menyalahgunakan aset (Pasal 85–88).
Fakta Tambahan
- Status UU 25/1992: Dicabut seluruhnya oleh UU 17/2012 (Pasal 117), sehingga tidak berlaku efektif sejak 18 Oktober 2012.
- Dampak Jangka Panjang: Meski dianggap usang, UU 25/1992 meletakkan dasar bagi pengakuan koperasi sebagai entitas hukum. Namun, warisan sentralisasi Orde Baru masih terasa dalam budaya korporasi koperasi hingga kini.
- Kritik Global: Sebelum 2012, Indonesia kerap dikritik International Cooperative Alliance (ICA) karena regulasi koperasi yang tidak sesuai dengan prinsip identity, values, and principles koperasi internasional.
Rekomendasi
Bagi koperasi yang masih merujuk UU 25/1992, perlu segera menyesuaikan dengan UU 17/2012, terutama dalam hal tata kelola, transparansi, dan perlindungan anggota. Pemerintah daerah juga perlu mendorinkolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat untuk edukasi literasi koperasi berbasis prinsip global.
— Analisis ini disusun berdasarkan kajian historis, perbandingan regulasi, dan praktik hukum perkoperasian di Indonesia.