Analisis Hukum Terhadap UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Konteks Historis
- Regulasi Sebelumnya: Sebelum UU No. 44/2009, pengaturan rumah sakit di Indonesia bersandar pada Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan dan Penyelenggaraan Rumah Sakit. Namun, aturan ini dinilai tidak komprehensif karena hanya mengatur aspek teknis operasional, bukan hak masyarakat atau standar mutu layanan.
- Reformasi Sistem Kesehatan: UU ini lahir dalam kerangka reformasi sektor kesehatan pasca-Reformasi 1998, terutama menyusul UU No. 36/2009 tentang Kesehatan yang menekankan hak masyarakat atas layanan kesehatan berkualitas. UU No. 44/2009 juga selaras dengan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menjadi dasar BPJS Kesehatan.
Inovasi Utama dalam UU No. 44/2009
-
Klasifikasi Rumah Sakit:
- Memisahkan rumah sakit umum dan khusus (spesialis) serta klasifikasi A-B-C-D berdasarkan fasilitas, tenaga medis, dan kemampuan pelayanan.
- Pengenalan konsep Rumah Sakit Publik (dikelola pemerintah) dan Rumah Sakit Privat (swasta) dengan mekanisme pembiayaan berbeda.
-
Akreditasi Wajib:
- Rumah sakit wajib terakreditasi untuk menjamin mutu layanan. Ini respons terhadap maruhnya kasus malpraktik dan ketimpangan kualitas layanan antar-daerah.
-
Hak dan Kewajiban Pasien:
- Pasien berhak mendapatkan informasi medis lengkap, privasi, dan layanan sesuai standar. Di sisi lain, rumah sakit wajib memiliki Komite Medik dan menerapkan Sistem Keselamatan Pasien.
-
Tanggung Jawab Sosial:
- Rumah Sakit Privat diwajibkan memberikan layanan pro bono atau subsidi silang untuk masyarakat tidak mampu (Pasal 32).
-
Pengawasan Terstruktur:
- Pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia (BPRSI) di tingkat nasional dan BPRS Provinsi untuk memastikan kepatuhan terhadap standar.
Kontroversi dan Tantangan Implementasi
-
Resistensi Sektor Swasta:
- Kewajiban akreditasi dan tanggung jawab sosial dianggap membebani rumah sakit swasta, terutama yang berorientasi profit.
- Protes muncul terkait biaya akreditasi dan sanksi pidana (Pasal 76) bagi rumah sakit yang melanggar.
-
Kesenjangan Infrastruktur:
- Rumah sakit di daerah terpencil kesulitan memenuhi standar fasilitas dan SDM, sehingga terjadi pelanggaran izin operasional.
-
Tumpang Tindih Regulasi:
- UU ini kerap berbenturan dengan Permenkes No. 340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, terutama dalam penentuan standar teknis.
Perkembangan Pasca-UU No. 44/2009
-
Pencabutan oleh PP No. 47 Tahun 2021:
- UU No. 44/2009 dicabut dan diganti Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Rumah Sakit untuk menyelaraskan dengan perkembangan teknologi kesehatan dan sistem BPJS.
- PP No. 47/2021 memperkuat aspek tata kelola digital, integrasi data kesehatan nasional, dan penanganan bencana (misalnya pandemi COVID-19).
-
Integrasi dengan BPJS Kesehatan:
- Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di bawah BPJS mendorong rumah sakit untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi biaya.
Catatan Penting untuk Klien
- Status Hukum: UU No. 44/2009 tidak berlaku lagi sejak PP No. 47/2021 diterbitkan. Namun, prinsip dasar seperti akreditasi, hak pasien, dan klasifikasi tetap diadopsi dalam regulasi baru.
- Implikasi Bisnis: Pelaku usaha rumah sakit swasta harus memastikan kepatuhan terhadap PP No. 47/2021, terutama terkait penggunaan teknologi informasi dan kolaborasi dengan BPJS.
- Risiko Hukum: Pelanggaran standar pelayanan (misalnya kegagalan akreditasi) dapat berujung pada sanksi administratif hingga pencabutan izin operasional.
Rekomendasi: Selalu pantau perkembangan turunan PP No. 47/2021, seperti Permenkes tentang standar teknis, untuk menghindari risiko litigasi.