Analisis UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan: Konteks Historis dan Informasi Tambahan
UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menggantikan UU No. 36 Tahun 2009 dan 10 undang-undang lainnya yang terkait kesehatan, seperti UU Praktik Kedokteran (No. 29/2004), UU Rumah Sakit (No. 44/2009), hingga UU Karantina Kesehatan (No. 6/2018). Pencabutan ini menandai upaya pemerintah untuk menyederhanakan, memperbarui, dan menyelaraskan kerangka hukum kesehatan Indonesia yang sebelumnya terfragmentasi.
Latar Belakang Utama:
-
Respons Terhadap Pandemi COVID-19
Pandemi mengungkap kelemahan sistem kesehatan Indonesia, seperti ketergantungan pada impor alat kesehatan, kurangnya koordinasi pusat-daerah, dan keterbatasan SDM kesehatan. UU ini dirancang untuk memperkuat ketahanan kesehatan (health resilience), termasuk ketersediaan farmasi dan alkes dalam negeri, serta sistem informasi kesehatan yang terintegrasi. -
Transformasi Kesehatan Nasional
UU ini merupakan bagian dari agenda transformasi kesehatan Kementerian Kesehatan (2021-2024) yang fokus pada 6 pilar: layanan primer, rujukan, SDM kesehatan, pembiayaan, teknologi, dan governance. Contoh konkretnya adalah penguatan puskesmas sebagai garda terdepan layanan kesehatan. -
Penyesuaian dengan Dinamika Global
Isu kesehatan global seperti pandemi, resistensi antimikroba, dan ancaman penyakit baru (zoonosis) membutuhkan kerangka hukum yang responsif. UU ini memperkuat mekanisme tanggap darurat kesehatan (misalnya, status kejadian luar biasa/wabah) dan pencegahan penyakit menular.
Poin Krusial yang Perlu Diketahui:
-
Ketentuan Pidana yang Diperketat
UU ini memperkenalkan sanksi pidana lebih berat untuk pelanggaran seperti:- Praktik kedokteran ilegal (Pasal 199): pidana penjara hingga 10 tahun.
- Penyelenggara fasilitas kesehatan tanpa izin (Pasal 200): denda hingga Rp10 miliar.
- Penolakan vaksinasi saat wabah (Pasal 202): ancaman pidana bagi pihak yang menghalangi program vaksinasi.
-
Desentralisasi dengan Penguatan Peran Pusat
Meski otonomi daerah diakui, pemerintah pusat memiliki kewenangan strategis dalam standarisasi layanan kesehatan, kebijakan farmasi nasional, dan penetapan KLB/wabah. Hal ini untuk menghindari disparitas layanan antar-daerah. -
Inovasi Teknologi Kesehatan
UU ini melegalkan telemedisin (Pasal 64) dan mendorong pemanfaatan AI/big data dalam layanan kesehatan. Namun, ada kekhawatiran soal perlindungan data pasien dan akuntabilitas diagnosis digital. -
Pendanaan Kesehatan yang Inklusif
Selain mengatur BPJS Kesehatan, UU ini mewajibkan alokasi anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN/APBD (Pasal 161). Ada juga skema pendanaan alternatif seperti CSR dan dana abadi kesehatan.
Tantangan Implementasi:
- Regulasi Turunan yang Belum Lengkap: Perlu 49 peraturan pelaksanaan (PP, Perpres, Permenkes) dalam 1 tahun. Jika tertunda, UU ini berisiko tidak efektif.
- Potensi Tumpang Tindih Kewenangan: Koordinasi pusat-daerah dalam hal seperti pengawasan obat dan alkes perlu diperjelas.
- Ketersediaan SDM Kesehatan: Masih ada ketimpangan distribusi dokter dan fasilitas kesehatan di daerah terpencil.
Kesimpulan:
UU No. 17/2023 adalah respons progresif terhadap tantangan kesehatan kontemporer, tetapi kesuksesannya bergantung pada kapasitas pemerintah dalam menerjemahkan norma hukum menjadi aksi nyata, terutama dalam pemerataan layanan dan pencegahan korupsi di sektor kesehatan.