Berikut analisis mendalam mengenai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis
-
Latar Belakang Pembentukan
- Sebelum UU ini, praktik kebidanan di Indonesia diatur secara parsial dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan, tetapi belum mengakomodasi standar profesi bidan secara komprehensif.
- Tingginya angka kematian ibu (AKI) dan bayi (AKB) di Indonesia (303 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup pada 2015, menurut SDKI) mendorong pemerintah merevisi regulasi untuk memperkuat peran bidan sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan maternal.
- UU ini juga merespons tuntutan global (seperti SDGs 2030) untuk meningkatkan akses layanan kesehatan reproduksi yang berkualitas.
-
Perubahan Paradigma
- UU ini menggeser pendekatan dari sekadar "pelayanan persalinan" ke praktik kebidanan berbasis bukti (evidence-based) yang mencakup pendidikan, registrasi, hingga pengawasan berlapis.
- Mengadopsi prinsip Universal Health Coverage (UHC) dengan memastikan bidan terintegrasi dalam sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).
Poin Krusial yang Perlu Diketahui
-
Pendidikan dan Sertifikasi
- Bidan wajib menempuh pendidikan vokasi atau profesi kebidanan yang terakreditasi (Pasal 6), berbeda dengan era sebelumnya yang masih memperbanyak bidan melalui program pelatihan singkat.
- Diatur mekanisme uji kompetensi dan registrasi melalui Konsil Kebidanan (Pasal 15-17), mengacu pada standar internasional International Confederation of Midwives (ICM).
-
Hak dan Kewajiban Unik
- Bidan berhak menolak intervensi medis yang bertentangan dengan kode etik (Pasal 34), tetapi wajib merujuk pasien ke fasilitas kesehatan lain jika diperlukan.
- Kewajiban kerahasiaan rekam medis (Pasal 36) diperkuat dengan sanksi pidana bagi yang melanggar (Pasal 84).
-
Bidan Asing dan Diaspora
- Bidan WNA hanya boleh praktik di Indonesia setelah lulus program adaptasi dan uji kompetensi (Pasal 26-28), mencerminkan perlindungan profesi sekaligus transfer pengetahuan.
- Bidan WNI lulusan luar negeri wajib melalui proses rekognisi kompetensi (Pasal 20), mencegah disparitas kualitas.
-
Penguatan Organisasi Profesi
- IBI (Ikatan Bidan Indonesia) diberi mandat sebagai satu-satunya organisasi profesi (Pasal 54), mengonsolidasikan peran yang sebelumnya terfragmentasi.
- IBI bertanggung jawab atas pembinaan etik, termasuk pemberian sanksi disiplin (Pasal 58).
Tantangan Implementasi
-
Ketimpangan Geografis
- Masih terdapat 8.136 desa tanpa bidan (data Bappenas 2020), terutama di daerah tertinggal. UU ini belum sepenuhnya mengatur insentif penempatan bidan di wilayah marginal.
-
Overlap Kewenangan
- Potensi konflik dengan tenaga kesehatan lain (seperti dokter kandungan) dalam hal kewenangan klinis, misalnya penanganan komplikasi kehamilan.
-
Digitalisasi Layanan
- Praktik kebidanan online dan telemedicine belum diatur spesifik, menimbulkan kerancuan dalam aspek hukum dan etik.
Perbandingan dengan Regulasi Internasional
- UU ini selaras dengan Global Standards for Midwifery Education (WHO 2021) tetapi masih tertinggal dalam hal rasio bidan-populasi (1:180 di Indonesia vs rekomendasi WHO 1:150).
- Di ASEAN, Malaysia dan Thailand telah memiliki UU Kebidanan yang lebih detail mengatur scope of practice, termasuk wewenang bidan dalam pelayanan kontrasepsi dan aborsi medis.
Rekomendasi Strategis
- Percepatan penerbitan Peraturan Pelaksana (seperti PP tentang Sanksi Administratif) yang belum seluruhnya terbit.
- Integrasi UU ini dengan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan untuk menyelaraskan definisi "pelayanan kesehatan maternal".
- Peningkatan anggaran pendidikan kebidanan melalui mekanisme LPDP Kesehatan untuk menjangkau daerah 3T.
Dokumen ini menjadi landasan transformasi kebidanan Indonesia menuju era profesionalisme, meski memerlukan evaluasi berkala untuk menyesuaikan dinamika kebutuhan masyarakat.