Analisis UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
1. Konteks Historis dan Latar Belakang
- Sebelum UU ini, pengaturan tenaga kesehatan di Indonesia tersebar di berbagai peraturan (misalnya PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan) dan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Hal ini menimbulkan tumpang tindih, ketidakjelasan kewenangan, serta belum mengakomodasi perkembangan dinamika sistem kesehatan nasional.
- Tantangan Kesehatan Nasional: Disparitas distribusi tenaga kesehatan (terkonsentrasi di perkotaan), kurangnya standar kompetensi nasional, dan minimnya perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dan masyarakat.
- Amendemen UUD 1945 Pasal 28H yang mengamanatkan kesehatan sebagai hak asasi manusia mendorong perlunya reformasi sistem kesehatan, termasuk penguatan regulasi tenaga kesehatan.
2. Poin Kunci Perubahan
- Harmonisasi Regulasi: UU ini menjadi payung hukum tunggal yang mengintegrasikan seluruh aspek tenaga kesehatan (perencanaan, pengadaan, distribusi, pembinaan, hingga pengawasan).
- Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI): Dibentuk untuk menstandarisasi kompetensi, registrasi, dan sertifikasi tenaga kesehatan, menggantikan sebagian fungsi Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia.
- Perlindungan Hukum: Memberikan kepastian hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas (misalnya melalui izin praktik, registrasi, dan sanksi disiplin) serta melindungi masyarakat dari malpraktik.
- Desentralisasi dan Kolaborasi: Mempertegas peran pemerintah pusat dan daerah dalam perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan serta mendorong partisipasi swasta dalam pendidikan/pelatihan.
3. Dampak dan Tantangan Implementasi
- Pemerataan Tenaga Kesehatan: UU ini mendorong penempatan tenaga kesehatan di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan melalui insentif dan pola ikatan dinas. Namun, implementasinya masih terkendala minimnya infrastruktur dan fasilitas pendukung di daerah.
- Sertifikasi dan Registrasi: Wajib uji kompetensi dan registrasi KTKI meningkatkan kualitas layanan, tetapi berpotensi menimbulkan birokrasi yang rumit bagi tenaga kesehatan.
- Respons terhadap Globalisasi: Pengaturan tenaga kesehatan asing (Pasal 64) memperketat syarat praktik untuk melindungi tenaga kesehatan lokal, namun tetap memungkinkan transfer ilmu dan teknologi.
4. Regulasi Turunan yang Relevan
- UU ini diubah sebagian oleh UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, yang mengatur khusus kompetensi dan praktik bidan.
- Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) turunan menjadi krusial, seperti PP tentang Perencanaan Tenaga Kesehatan dan Permenkes tentang Standar Profesi.
5. Catatan Kritis
- Tumpang Tindih Kewenangan: Pembentukan KTKI berpotensi bersinggungan dengan organisasi profesi (contoh: IDI, PPNI) dalam hal pengawasan etik.
- Implementasi Lambat: Hingga kini, beberapa peraturan teknis (misalnya tentang distribusi tenaga kesehatan) masih belum optimal diterapkan di daerah.
6. Relevansi dengan Kebijakan Kesehatan Global
UU ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) terutama Goal 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan) dengan memastikan ketersediaan tenaga kesehatan berkualitas sebagai tulang punggung sistem kesehatan nasional.
Kesimpulan: UU No. 36/2014 menjadi landasan transformasi sistem kesehatan Indonesia, meski perlu evaluasi berkala untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan kemajuan teknologi kesehatan.