Analisis UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
1. Konteks Historis dan Urgensi Pembentukan
- Penggantian UU Kolot: UU ini menggantikan UU No. 1 Tahun 1962 (Karantina Laut) dan UU No. 2 Tahun 1962 (Karantina Udara) yang sudah tidak relevan dengan perkembangan global, seperti meningkatnya mobilitas internasional, risiko penyebaran penyakit lintas negara (misalnya SARS, MERS, Ebola), serta tuntutan harmonisasi dengan Regulasi Internasional (IHR 2005 WHO).
- Antisipasi Krisis Kesehatan Global: UU ini disahkan sebelum pandemi COVID-19 (2018), menunjukkan visi pemerintah untuk memperkuat sistem pencegahan darurat kesehatan, meskipun implementasinya baru teruji saat pandemi.
2. Alignmen dengan Standar Global
- UU ini mengadopsi International Health Regulations (IHR) 2005 yang mewajibkan negara anggota WHO membangun kapasitas deteksi dan respons terhadap kedaruratan kesehatan. Indonesia, sebagai bagian dari komunitas global, harus memastikan kebijakan karantina tidak melanggar HAM, martabat, dan kebebasan individu (sesuai Pasal 28H UUD 1945).
3. Dampak pada Penanganan COVID-19
- UU ini menjadi dasar hukum utama pembatasan pergerakan orang/barang, karantina wilayah (PSBB/PPKM), serta kewenangan pemerintah dalam penetapan status kedaruratan. Namun, muncul kritik terkait potensi konflik antara kepentingan kesehatan publik dan hak ekonomi/sosial, terutama dalam penerapan sanksi pidana (Pasal 93-99).
4. Struktur Kewenangan dan Desentralisasi
- Koordinasi Pusat-Daerah: UU menegaskan tanggung jawab pemerintah pusat sebagai regulator utama, sementara daerah berperan dalam pelaksanaan teknis. Hal ini menuntut sinergi untuk menghindari tumpang tindih kebijakan, terutama di wilayah kepulauan dengan akses terbatas.
- Sumber Daya dan Infrastruktur: Implementasi UU memerlukan penguatan SDM (petugas karantina), laboratorium BSL-3/BSL-4, serta sistem informasi terintegrasi di pintu masuk (bandara, pelabuhan).
5. Aspek HAM dan Keadilan Sosial
- UU mengatur hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar selama karantina (Pasal 8), tetapi juga kewajiban mematuhi aturan. Pada praktiknya, kebijakan seperti pembatasan mudik atau wajib vaksin menuai pro-kontra, memicu uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
6. Pencabutan UU Lama dan Kekosongan Hukum
- Pencabutan UU 1962/1963 menghilangkan dikotomi karantina laut-udara, menggantinya dengan pendekatan holistik berbasis risiko kesehatan, termasuk ancaman bioterorisme atau limbah B3.
7. Tantangan Implementasi
- Penegakan Sanksi: Sanksi pidana (penjara hingga 1 tahun/denda Rp100 juta) untuk pelanggaran karantina kerap dianggap tidak proporsional, terutama bagi masyarakat ekonomi lemah.
- Transparansi Data: Keterbukaan informasi publik tentang kasus penyakit harus diimbangi dengan perlindungan privasi individu (Pasal 52-53).
Rekomendasi Strategis untuk Klien
- Pelaku Bisnis: Pastikan kepatuhan dokumen karantina (health certificate) dalam ekspor-impor untuk menghindari penahanan barang.
- Masyarakat Umum: Pahami hak untuk menolak karantina jika tidak memenuhi prosedur hukum, tetapi tetap pertimbangkan dampak kesehatan kolektif.
- Pemerintah Daerah: Koordinasi dengan Kementerian Kesehatan dalam alokasi anggaran dan pelatihan SDM karantina.
UU No. 6/2018 mencerminkan evolusi sistem kesehatan Indonesia dari pendekatan konvensional menuju responsif krisis, meski tetap perlu evaluasi berkala untuk menyeimbangkan aspek kesehatan, HAM, dan ekonomi.