Sebagai pengacara yang berpengalaman di Jakarta, berikut analisis mendalam mengenai UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis
-
Latar Belakang Pembentukan
- UU ini lahir dari kebutuhan untuk mengatasi fragmentasi regulasi sebelumnya, di mana pengelolaan pesisir dan pulau kecil terbagi dalam sektor-sektor (perikanan, kehutanan, pertambangan, dll.) yang sering tumpang tindih dan menimbulkan konflik kepentingan.
- Dorongan global pasca Earth Summit 1992 (Agenda 21) dan UNCLOS 1982 yang diratifikasi Indonesia melalui UU No. 17/1985, mewajibkan pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan.
- Maraknya alih fungsi kawasan pesisir untuk tambak, industri, dan pariwisata yang merusak ekosistem (misal: kerusakan mangrove di Pantai Utara Jawa).
-
Isu Strategis Nasional
- Kedaulatan NKRI: Pulau-pulau kecil terluar rentan klaim asing (contoh: Sipadan-Ligitan). UU ini mempertegas penguasaan negara atas wilayah tersebut.
- Desentralisasi: UU ini mengatur kewenangan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk menghindari ego sektoral daerah.
Poin Kritis yang Sering Diabaikan
-
Uji Materiil MK Tahun 2010
- Pasal 1 angka 35 (definisi "perairan pesisir") dan Pasal 16 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir/HP-3) dibatalkan MK melalui Putusan No. 3/PUU-VIII/2010 karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945, khususnya terkait hak masyarakat adat dan potensi komersialisasi wilayah pesisir.
- Implikasi: HP-3 tidak berlaku lagi, diganti skema izin pengelolaan yang lebih ketat.
-
Batas Wilayah Pesisir
- UU ini menetapkan batas 12 mil laut dari garis pantai, tetapi dalam praktik, tumpang tindih dengan UU No. 32/2014 tentang Kelautan (batas 12 mil untuk laut teritorial) menimbulkan ambiguitas yuridis.
-
Sanksi yang Lemah
- Pasal 35-37 UU ini hanya mengatur sanksi administratif (peringatan, pencabutan izin) untuk pelanggaran, tanpa sanksi pidana yang memadai. Hal ini menjadi celah bagi perusakan lingkungan (misal: reklamasi ilegal di Teluk Jakarta).
Tantangan Implementasi
-
Konflik Lahan
- Contoh kasus: Sengketa antara nelayan tradisional dan perusahaan tambak udang di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, akibat tata ruang yang tidak jelas.
- HP-3 (sebelum dibatalkan) kerap dimanfaatkan korporasi untuk menguasai pesisir, memicu protes masyarakat.
-
Tumpang Tindih Kewenangan
- Pemerintah daerah sering mengeluarkan izin tambang/pariwisata di kawasan pesisir tanpa koordinasi dengan pusat, bertentangan dengan Pasal 7 UU ini.
-
Perubahan Iklim
- UU ini belum secara spesifik mengatur adaptasi perubahan iklim (kenaikan muka air laut, abrasi), padahal 60% wilayah pesisir Indonesia rawan terdampak.
Perkembangan Terkini
- UU No. 27/2007 telah direvisi oleh UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Revisi), dengan perubahan signifikan pada:
- Penghapusan HP-3 dan penguatan hak masyarakat adat.
- Integrasi dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
- Penguatan sanksi pidana (penjara hingga 10 tahun dan denda Rp 20 miliar) untuk perusakan ekosistem pesisir.
Rekomendasi Strategis
- Harmonisasi Regulasi: Perlu sinkronisasi dengan UU No. 32/2014 (Kelautan) dan UU No. 23/2014 (Pemerintahan Daerah).
- Penguatan Kelembagaan: Optimalisasi Badan Koordinasi Kelautan dan Investasi (BKPM) untuk pengawasan lintas sektor.
- Partisipasi Masyarakat: Implementasi Pasal 22 tentang keterlibatan masyarakat dalam perencanaan harus diwujudkan melalui program sosialisasi berbasis kearifan lokal.
UU ini merupakan terobosan hukum lingkungan, tetapi efektivitasnya sangat bergantung pada komitmen politik dan penegakan hukum yang konsisten.