Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 1 Tahun 2014 beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis
-
Latar Belakang Amandemen UU No. 27/2007
- UU No. 27/2007 dinilai belum memadai dalam mengakomodasi kewenangan negara untuk melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari eksploitasi berlebihan, alih fungsi lahan, serta konflik kepentingan antara masyarakat, swasta, dan pemerintah.
- Isu krusial: Maraknya reklamasi, privatisasi pulau kecil oleh pihak asing/domestik, degradasi ekosistem pesisir (misal: kerusakan terumbu karang dan mangrove), serta minimnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan wilayah.
-
Dorongan Internasional dan Nasional
- Komitmen Indonesia pada UNCLOS 1982 (hukum laut internasional) dan SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) yang menekankan pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan.
- Tekanan dari masyarakat sipil dan organisasi lingkungan (seperti Walhi, KIARA) untuk merevisi UU No. 27/2007 yang dianggap pro-investasi dan mengabaikan hak masyarakat adat.
Poin Krusial dalam UU No. 1/2014
-
Hak Masyarakat dan Partisipasi Publik
- Masyarakat diberi hak mengusulkan Rencana Zonasi dan Strategis, yang sebelumnya hanya wewenang pemerintah. Ini respons atas protes masyarakat yang terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan.
- Catatan: Implementasinya masih sering terbentur birokrasi dan minimnya sosialisasi, terutama di daerah terpencil.
-
Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan
- Izin Lokasi (20-30 tahun) dan Izin Pengelolaan (max 60 tahun) wajib mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Namun, kritik muncul karena izin ini berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan korporasi, terutama di wilayah strategis seperti Kepulauan Riau dan Bali.
- Perdebatan: Mekanisme pengawasan izin masih lemah, dan sanksi administratif (Pasal 35A) dinilai tidak cukup menghalangi pelanggaran.
-
Penguatan Kewenangan Pemerintah Pusat
- Menteri (KKP) memiliki kewenangan menetapkan Zona Inti yang dilindungi (misal: kawasan konservasi). Ini mempertegas sentralisasi kebijakan untuk mencegah eksploitasi oleh pemerintah daerah yang rawan "jual-beli" pulau kecil.
- Contoh Kasus: Revisi ini menjadi dasar hukum pembatalan izin reklamasi Teluk Jakarta dan penghentian proyek di Pulau Pari (2021).
-
Pengakuan Masyarakat Adat
- Pasal 21A mengakui hak masyarakat hukum adat, tetapi syarat pengakuan (harus sesuai UU No. 6/2014 tentang Desa) sering menyulitkan komunitas adat yang belum terdaftar resmi.
Kontroversi & Tantangan Implementasi
-
Tumpang Tindih Regulasi
- UU ini bersinggungan dengan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (kewenangan gubernur vs bupati) dan UU Minerba (eksploitasi sumber daya di wilayah pesisir).
-
Isu Privatisasi
- Pemberian izin pengelolaan jangka panjang dikhawatirkan mengubah status pulau kecil dari "milik negara" menjadi "hak quasi-privat", terutama jika diberikan kepada korporasi asing.
-
Kapasitas Daerah
- Banyak pemerintah daerah belum memiliki RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir) yang memadai akibat keterbatasan SDM dan anggaran.
Rekomendasi untuk Klien
- Due Diligence Izin: Pastikan proyek di wilayah pesisir/pulau kecil memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah No. 32/2019 tentang RZWP3K dan melibatkan masyarakat lokal.
- Advokasi Hak Adat: Jika klien adalah masyarakat adat, dukung proses pengakuan melalui Perda untuk memperkuat posisi hukum.
- Antisipasi Sengketa: Pemantauan ketat terhadap perubahan RZWP3K dan potensi judicial review atas izin yang bermasalah.
UU No. 1/2014 mencerminkan upaya Indonesia menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan keberlanjutan ekologis, meski tantangan implementasi masih besar. Keberhasilannya sangat bergantung pada koordinasi antarlembaga dan penegakan hukum yang konsisten.