Analisis UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
1. Konteks Historis
UU ini menggantikan rezim investasi sebelumnya yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Kedua UU tersebut dinilai sudah tidak sesuai dengan kebutuhan globalisasi dan tuntutan transparansi, sehingga perlu disatukan dalam satu kerangka hukum modern. UU 25/2007 lahir sebagai respons terhadap kebutuhan meningkatkan daya saing Indonesia di era perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dan WTO.
2. Poin Revolusioner
- Kesetaraan PMA dan PMDN: UU ini menghapus dikotomi PMA-PMDN dan memberikan perlakuan setara, termasuk kepemilikan saham (misalnya, izin 100% kepemilikan asing di sektor tertentu).
- Insentif Fiskal: Pengurangan pajak, pembebasan bea masuk, dan tax allowance untuk sektor prioritas (seperti infrastruktur, energi terbarukan).
- Kemudahan Perizinan: BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) menjadi single window untuk percepatan izin investasi.
- Perlindungan Hukum: Jaminan nasionalisasi hanya untuk kepentingan umum dengan kompensasi wajar (Pasal 7), serta perlindungan sengketa melalui mekanisme internasional (ICSID/UNCTRAL).
3. Pengaruh Global
UU ini mengadopsi prinsip non-diskriminasi (National Treatment/MFN) sesuai komitmen Indonesia dalam ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) dan WTO-TRIMs. Namun, tetap mempertahankan Daftar Negatif Investasi (DNI) untuk melindungi sektor strategis (misal: pertahanan, pertanian).
4. Kritik dan Tantangan
- Sengketa Lahan: UU ini dianggap mempermudah akuisisi lahan untuk proyek strategis, tetapi sering berbenturan dengan hak masyarakat adat (misal kasus PLTA Batang Toru).
- Ketimpangan Insentif: Insentif fiskal dinilai lebih menguntungkan investor asing dibanding UMKM lokal.
- Revisi Omnibus Law: UU 11/2020 tentang Cipta Kerja mengubah beberapa pasal UU 25/2007, terutama terkait izin berbasis risiko dan perluasan DNI.
5. Dampak Ekonomi
Pasca-UU ini, realisasi investasi tumbuh signifikan (dari Rp 200 triliun pada 2007 menjadi Rp 1.200 triliun pada 2022). Proyek seperti KIIC Karawang dan Smelter Freeport merupakan hasil iklim investasi yang lebih kondusif. Namun, masih ada tantangan birokrasi dan ketidakpastian hukum di tingkat daerah.
6. Catatan Penting
UU 25/2007 adalah fondasi kebijakan investasi Indonesia modern, tetapi implementasinya perlu diimbangi dengan penguatan perlindungan lingkungan (AMDAL) dan hak pekerja. Perubahan lewat Omnibus Law juga perlu dipantau untuk memastikan keseimbangan antara kepentingan investor dan masyarakat.
Sebagai advokat, penting untuk memahami dinamika UU ini dalam menyusun kontrak investasi, terutama terkait klausul penyelesaian sengketa dan kepatuhan terhadap DNI yang diperbarui.