Analisis Mendalam Terhadap UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
Konteks Historis
-
Penggantian UU No. 27 Tahun 2003
UU No. 21/2014 lahir sebagai respons atas kendala struktural dalam pengembangan panas bumi di bawah UU No. 27/2003. Pada era sebelumnya, panas bumi dikategorikan sebagai "usaha pertambangan", sehingga tunduk pada aturan larangan aktivitas pertambangan di kawasan hutan lindung (UU No. 41/1999 tentang Kehutanan). Hal ini menjadi hambatan besar karena 70% potensi panas bumi Indonesia berada di kawasan hutan. Reklasifikasi panas bumi sebagai sumber daya energi terbarukan non-pertambangan dalam UU ini menjadi solusi hukum untuk membuka akses pengembangan. -
Dorongan Kebijakan Energi Nasional
UU ini sejalan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan target bauran energi terbarukan 23% pada 2025. Potensi panas bumi Indonesia (≈29 GW, terbesar ke-2 dunia) dinilai strategis untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil, sekaligus mendukung komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (NDC Indonesia).
Poin Krusial yang Perlu Diketahui
-
Pemisahan Kewenangan Pemanfaatan
- Pemanfaatan Langsung (non-listrik, seperti agrikultur/industri): Kewenangan di tangan pemerintah daerah (via izin).
- Pemanfaatan Tidak Langsung (pembangkit listrik): Kewenangan penuh di pemerintah pusat untuk memastikan integrasi dengan sistem ketenagalistrikan nasional.
-
Insentif dan Kepastian Investasi
- Hak Pengusahaan diperpanjang hingga 37 tahun (7 tahun eksplorasi + 30 tahun operasi), lebih panjang dari UU sebelumnya.
- Skema bagi hasil antara pemerintah-pemerintah daerah-pengusaha diatur transparan untuk menghindari konflik daerah.
-
Perlindungan Lingkungan & Partisipasi Masyarakat
- AMDAL wajib dalam setiap tahap pengusahaan, dengan mekanisme pengawasan ketat oleh Kementerian ESDM.
- Hak Masyarakat Adat diakui melalui skema kompensasi dan prioritas pemanfaatan panas bumi skala kecil untuk komunitas lokal.
Tantangan Implementasi
-
Tumpang Tindih Regulasi
Meski sudah dikecualikan dari UU Pertambangan, persoalan tata ruang (terutama di kawasan hutan) masih memerlukan koordinasi kompleks antara Kementerian ESDM, KLHK, dan daerah. -
Resistensi Lokal
Proyek panas bumi kerap berbenturan dengan isu lahan dan kesalahpahaman masyarakat (misal: isu "pengeboran panas bumi memicu gempa"). UU mengamanatkan sosialisasi intensif, tetapi implementasinya masih lemah. -
Keterbatasan Teknologi & Risiko Eksplorasi
Biaya eksplorasi tinggi (USD 2-5 juta per sumur) dengan risiko kegagalan 30-50%. UU belum secara spesifik mengatur skema pendanaan pemerintah untuk mitigasi risiko ini.
Perkembangan Terkini
-
Peraturan Pelaksana Kunci
- PP No. 7/2017: Mengatur tata cara lelang Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP).
- PP No. 25/2020: Menyederhanakan perizinan dan insentif fiskal (tax allowance, pembebasan PPN).
-
Proyek Strategis Nasional
Pembangkit panas bumi seperti Sarulla (Sumut) dan Ulubelu (Lampung) menjadi contoh keberhasilan UU ini dalam menarik investasi asing (GEODEEP, Chevron, dll). -
Putusan MK Tahun 2021
MK menegaskan bahwa pengusahaan panas bumi tidak memerlukan izin pinjam pakai kawasan hutan, selama memenuhi syarat teknis KLHK (Putusan No. 22/PUU-XIX/2021).
Rekomendasi Strategis untuk Klien
-
Due Diligence Multi-Sektor
Pastikan proyek memenuhi aspek tata ruang, lingkungan, dan sosial untuk menghindari judicial review oleh masyarakat/NGO. -
Manfaatkan Skema Kemitraan
Kolaborasi dengan BUMN (PT Pertamina Geothermal Energy) dapat mengurangi risiko politik dan perizinan. -
Antisipasi Sengketa Lahan
Gunakan mekanisme land bank atau skema bagi hasil dengan masyarakat adat sejak fase eksplorasi.
UU No. 21/2014 merupakan terobosan hukum yang progresif, namun efektivitasnya sangat bergantung pada sinergi antarlembaga dan kemampuan mitigasi risiko sosial-lingkungan.