Analisis Hukum Terkait UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Konteks Historis
-
Latar Belakang Ekonomi Pasca-Krisis 1998:
UU ini lahir sebagai respons atas kebutuhan struktural pasca-krisis moneter 1998, di mana UMKM terbukti menjadi penyangga ekonomi yang tangguh. Krisis tersebut menyadarkan pemerintah bahwa ketergantungan pada usaha besar berisiko tinggi, sehingga pemberdayaan UMKM dianggap sebagai strategi untuk menciptakan ketahanan ekonomi berbasis kerakyatan. -
Amandemen dari UU No. 9 Tahun 1995:
UU No. 20/2008 menggantikan UU No. 9/1995 yang hanya fokus pada Usaha Kecil. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh dinamika globalisasi dan tuntutan untuk memperluas perlindungan hukum, termasuk mengakomodasi Usaha Mikro dan Menengah sebagai entitas ekonomi yang memiliki peran strategis. -
Mandat Politik Ekonomi MPR 1998:
UU ini mengadopsi semangat Ketetapan MPR No. XVI/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, yang menekankan pentingnya ekonomi kerakyatan untuk mengurangi kesenjangan dan mendorong pemerataan.
Aspek Krusial yang Perlu Diketahui
-
Kriteria Usaha yang Dinamis:
- Kriteria aset dan omzet dalam UU ini (misal: Usaha Mikro maksimal Rp50 juta aset) tidak statis. Nilai ini dapat direvisi melalui Peraturan Presiden (Pasal 6), seperti terlihat dalam Perpres No. 7 Tahun 2021 yang menyesuaikan kriteria dengan perkembangan ekonomi.
- Penyesuaian ini memastikan UMKM tetap relevan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
-
Kemitraan yang Diatur Ketat:
- Pasal 26-28 mengatur pola kemitraan antara UMKM dengan usaha besar, termasuk bagi hasil, waralaba, dan outsourcing.
- Tujuannya mencegah eksploitasi UMKM oleh korporasi, sekaligus mendorong transfer teknologi dan manajemen.
-
Pembiayaan Inklusif:
- UU ini mewajibkan bank menyediakan minimal 20% kredit/pembiayaan untuk UMKM (Pasal 21). Kebijakan ini menjadi dasar program KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang masif di era berikutnya.
- Namun, implementasinya sering terkendala persyaratan agunan yang ketat, sehingga muncul Peraturan OJK untuk memperluas akses.
-
Sanksi Administratif sebagai Penguatan:
- Sanksi administratif (Pasal 36) seperti pencabutan izin bagi pelaku usaha besar yang melanggar hak UMKM, menunjukkan komitmen negara dalam menegakkan keadilan ekonomi.
Tantangan Implementasi
- Koordinasi Antar-Lembaga:
Koordinasi antara Kementerian Koperasi dan UKM, OJK, dan pemerintah daerah masih sering tumpang tindih, terutama dalam program pendampingan dan pendanaan. - Globalisasi vs Proteksi:
Meski UU ini mendorong daya saing UMKM, liberalisasi pasar (misal: masuknya produk impor murah) tetap menjadi ancaman serius.
Relevansi dalam Konteks Kontemporer
UU No. 20/2008 menjadi fondasi bagi kebijakan UMKM modern, seperti:
- Digitalisasi UMKM melalui program e-commerce (e.g., Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia).
- Perpres No. 2 Tahun 2022 tentang Pengembangan Kewirausahaan Nasional yang memperkuat ekosistem startup mikro.
Kesimpulan:
UU No. 20/2008 tidak hanya sekadar regulasi teknis, tetapi mencerminkan transformasi paradigma ekonomi Indonesia pasca-reformasi, dari ekonomi yang terpusat pada konglomerasi menuju ekonomi inklusif berbasis UMKM. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada sinergi kebijakan turunan dan komitmen politik jangka panjang.