Analisis Hukum: UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Konteks Historis
UU No. 6 Tahun 1983 merupakan tonggak reformasi perpajakan modern Indonesia yang lahir dalam situasi krisis ekonomi global awal 1980-an. Saat itu, Indonesia sangat bergantung pada penerimaan migas (minyak dan gas), yang menyumbang sekitar 70% APBN. Namun, harga minyak dunia anjlok (1982–1983), memicu defisit fiskal. Pemerintah menyadari urgensi diversifikasi sumber pendapatan negara melalui sistem perpajakan yang lebih kuat, transparan, dan terstruktur.
Sebelum UU ini, sistem perpajakan Indonesia masih bersifat kolonial (warisan Belanda), seperti Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, yang dinilai tidak lagi relevan dengan kebutuhan pembangunan nasional. Sistem tersebut juga sarat dengan diskresi pejabat pajak (official assessment), sehingga rentan penyalahgunaan wewenang dan rendahnya kepatuhan wajib pajak.
Inovasi Utama dalam UU No. 6/1983
-
Self-Assessment System
UU ini memperkenalkan sistem self-assessment (wajib pajak menghitung dan melaporkan sendiri pajaknya), menggeser paradigma dari otoritas pajak sebagai "penagih" menjadi "pengawas". Ini menjadi fondasi modernisasi administrasi pajak di Indonesia. -
Harmonisasi dengan Kebutuhan Pembangunan
UU dirancang untuk mendukung program pembangunan jangka panjang (Pelita IV) dengan menciptakan kepastian hukum, mengurangi ketergantungan pada migas, dan menarik investasi asing melalui sistem pajak yang kompetitif. -
Penguatan Kelembagaan
UU ini mempertegas peran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai otoritas pajak yang independen, dilengkapi kewenangan pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan pajak.
Tantangan Implementasi
- Resistensi Masyarakat: Masyarakat belum terbiasa dengan konsep self-assessment, sehingga perlu sosialisasi masif.
- Keterbatasan Infrastruktur: Teknologi administrasi pajak saat itu masih manual, memengaruhi efektivitas pengawasan.
- Revisi Berkala: UU ini telah mengalami 4 kali amendemen (terakhir melalui UU No. 16/2023) untuk menyesuaikan dinamika global, seperti transaksi digital dan prinsip transparansi pajak internasional (BEPS OECD).
Dampak Jangka Panjang
UU No. 6/1983 menjadi dasar bagi sistem perpajakan Indonesia yang lebih progresif, termasuk penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui UU No. 8/1983 dan Pajak Penghasilan (PPh) melalui UU No. 7/1983. Saat ini, kontribusi pajak mencapai ±80% penerimaan negara, menunjukkan kesuksesan transformasi sistem ini.
Poin Krusial untuk Klien
- Kepatuhan Proaktif: Self-assessment menuntut wajib pajak untuk memahami kewajiban secara mandiri. Kesalahan pelaporan (baik sengaja atau tidak) berisiko sanksi administratif hingga pidana.
- Peran Konsultan Pajak: UU ini membuka ruang bagi profesi konsultan pajak sebagai mitra wajib pajak dalam memastikan kepatuhan.
Catatan: Meskipun telah diubah beberapa kali, prinsip dasar UU No. 6/1983 tetap relevan sebagai lex generalis sistem perpajakan Indonesia. Pemahaman konteks historisnya penting untuk mengantisipasi kebijakan pajak ke depan, terutama terkait digitalisasi dan transparansi global.
Referensi Tambahan:
- UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan.
- UU No. 16/2023 tentang Perubahan Kelima atas UU No. 6/1983.
- Kebijakan OECD Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).