Analisis UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)
Konteks Historis
-
Pemulihan Ekonomi Pasca-Pandemi COVID-19
UU HPP lahir di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak 2020. Defisit anggaran membengkak hingga 6,34% pada 2020 (melampaui batas UU Keuangan Negara 3%), sehingga pemerintah perlu meningkatkan penerimaan pajak untuk konsolidasi fiskal. UU ini menjadi instrumen strategis untuk memulihkan ekonomi sekaligus memperkuat basis pajak jangka panjang. -
Reformasi Struktural Sistem Perpajakan
UU HPP adalah bagian dari agenda besar reformasi perpajakan Indonesia sejak 1983 (UU KUP, PPh, PPN). Sebelumnya, sistem pajak dinilai kompleks, tumpang-tindih, dan kurang adil. Misalnya, tax ratio Indonesia hanya 8-10% (terendah di ASEAN), sehingga perlu modernisasi untuk mengejar ketertinggalan. -
Tekanan Global dan Kepatuhan Internasional
UU ini mengadopsi prinsip BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) OECD untuk mencegah penghindaran pajak korporasi multinasional. Selain itu, aturan pertukaran informasi pajak (AEOI/CRS) dan kerja sama penagihan pajak lintas negara (Pasal 32A UU KUP) memperkuat posisi Indonesia dalam perjanjian pajak internasional.
Poin Krusial yang Perlu Diketahui
-
Program Pengungkapan Sukarela (PPS)
- Mirip Tax Amnesty 2016, tetapi lebih fokus pada kepatuhan sukarela. Tarif PPS 2021 berkisar 6-18% (lebih tinggi dari Tax Amnesty yang 2-10%).
- Aset di luar negeri wajib repatriasi 50% (jika diinvestasikan di Indonesia), berbeda dengan Tax Amnesty yang tidak mewajibkan repatriasi.
- Dasar hukum PPS: Perppu No. 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, yang memungkinkan otoritas pajak mengakses data keuangan Wajib Pajak.
-
Perubahan Tarif PPh Orang Pribadi & Badan
- Tarif PPh Orang Pribadi diubah menjadi progresif 5-35% (sebelumnya 5-30%) untuk meningkatkan keadilan.
- Tarif PPh Badan turun bertahap dari 22% (2022) menjadi 20% pada 2025 guna menarik investasi.
-
Pajak Natura & Kenikmatan
- Natura (seperti mobil dinas) sebelumnya tidak dikenakan pajak. UU HPP menghapus insentif ini, tetapi menuai protes publik. Pada 2023, pemerintah merevisi kebijakan ini melalui PP No. 55/2023 yang membatasi objek natura kena pajak.
-
Kenaikan Tarif PPN
- Tarif PPN naik bertahap dari 10% (2021) menjadi 11% (2022) dan 12% (2025).
- Pengecualian PPN dipersempit, misalnya sembako, jasa pendidikan, dan layanan kesehatan tetap dibebaskan, tetapi jasa lainnya dikenakan PPN.
-
Daluwarsa Penuntutan Pidana Pajak
Masa daluwarsa diperpanjang dari 5 tahun menjadi 10 tahun untuk tindak pidana pajak tertentu (Pasal 38 UU KUP), memperkuat penegakan hukum.
Kontroversi & Tantangan Implementasi
-
Resistensi Masyarakat atas Pajak Natura
Aturan ini awalnya dinilai memberatkan pekerja dengan tunjangan natura (seperti TNI/Polri). Revisi melalui PP No. 55/2023 membuktikan pemerintah perlu menyeimbangkan kepentingan fiskal dan respons sosial. -
Potensi Inflasi Akibat Kenaikan PPN
Kenaikan tarif PPN berisiko meningkatkan harga barang/jasa, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. -
Kompleksitas Administrasi PPS
Meski target PPS 2021 adalah Rp1.000 triliun, realisasi hanya Rp103 triliun (per April 2022), menunjukkan kurangnya partisipasi Wajib Pajak.
Dampak Strategis
- Peningkatan Tax Ratio: UU HPP diharapkan menaikkan tax ratio menjadi 12% pada 2025.
- Kepastian Hukum: Harmonisasi 7 UU pajak mengurangi konflik interpretasi dan litigasi.
- Penegakan Hukum Global: Kerja sama penagihan pajak lintas negara mempersempit ruang penghindaran pajak (tax haven).
Catatan Penting: Beberapa pasal UU HPP (seperti pajak natura) telah direvisi melalui peraturan turunan. Penting untuk selalu merujuk pada aturan terbaru dan konsultasi dengan tax advisor terkait implikasi spesifik.