Analisis Hukum: UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai
Konteks Historis
Sebelum UU Cukai 1995, Indonesia masih menggunakan ordonansi warisan kolonial Belanda sebagai dasar pengenaan cukai, seperti:
- Ordonansi Cukai Minyak Tanah (1886)
- Ordonansi Cukai Alkohol Sulingan (1898)
- Ordonansi Cukai Tembakau (1932)
Regulasi kolonial ini bersifat fragmentatif dan tidak sesuai dengan prinsip keadilan serta kebutuhan ekonomi nasional pascakemerdekaan. UU No. 11/1995 hadir sebagai upaya unifikasi hukum cukai untuk menciptakan kepastian hukum dan meningkatkan efektivitas pemungutan cukai sebagai sumber penerimaan negara.
Latar Belakang Politik-Ekonomi
- Era Deregulasi Orde Baru:
UU ini lahir dalam periode economic liberalization (1980–1990-an) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, di mana pemerintah fokus pada modernisasi sistem perpajakan dan kepabeanan untuk menarik investasi asing serta meningkatkan daya saing ekspor. - Harmonisasi dengan UU Kepabeanan 1995:
UU Cukai 1995 dirancang selaras dengan UU No. 10/1995 tentang Kepabeanan sebagai respons terhadap liberalisasi perdagangan global dan persiapan integrasi ASEAN.
Inovasi Utama dalam UU No. 11/1995
- Perluasan Objek Cukai:
Tidak hanya terbatas pada tembakau, alkohol, dan minyak tanah, UU ini membuka ruang untuk mengenakan cukai pada barang lain yang berdampak negatif pada kesehatan atau lingkungan (contoh: plastik sekali pakai diatur kemudian melalui revisi). - Prinsip “On-Site Levy”:
Cukai dilunasi saat barang dikeluarkan dari pabrik/tempat penyimpanan, bukan saat produksi. Ini meminimalkan risiko penghindaran cukai dan memudahkan pengawasan. - Penghapusan Dualisme Hukum Kolonial:
UU ini mencabut 5 ordonansi Belanda sekaligus, mengakhiri sistem pemungutan cukai yang diskriminatif dan tidak transparan.
Dampak Strategis
- Peningkatan Penerimaan Negara:
Cukai menjadi salah satu kontributor terbesar penerimaan negara non-migas. Pada 2023, cukai tembakau saja menyumbang Rp153 triliun (data DJBC). - Proteksi Industri Lokal:
Pengenaan cukai pada barang impor (misal: bir) melindungi produsen dalam negeri dari persaingan tidak sehat. - Instrumen Pengendalian Sosial:
Cukai digunakan untuk mengontrol konsumsi barang berbahaya (contoh: tarif cukai rokok naik 10% per tahun sejak 2018 untuk menekan prevalensi perokok).
Catatan Kritis
- Keterbatasan UU 1995:
UU ini belum mengatur cukai atas barang elektronik (misal: vape) dan lingkungan (karbon), yang baru diadopsi melalui revisi terbatas atau Peraturan Pemerintah. - Tantangan Penegakan:
Maraknya peredaran barang kena cukai ilegal (e.g.: rokok ilegal) menunjukkan perlunya modernisasi sistem pengawasan berbasis teknologi.
Relevansi di Era Kontemporer
UU No. 11/1995 tetap menjadi legal backbone sistem cukai Indonesia, meski telah mengalami beberapa perubahan, seperti:
- UU No. 39/2007 tentang Perubahan atas UU Cukai 1995 (penguatan pengawasan).
- Integrasi dengan kebijakan customs modernization DJBC (2020–2024) berbasis big data dan blockchain.
Kesimpulan: UU ini merefleksikan transisi Indonesia dari sistem hukum kolonial menangkat kebijakan fiskal yang berdaulat, progresif, dan responsif terhadap tantangan global.