Analisis UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman: Konteks Historis dan Informasi Tambahan
-
Latar Belakang Penggantian UU No. 8 Tahun 1992
- UU No. 8/1992 dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan teknologi digital (seperti streaming, VOD) dan dinamika globalisasi yang memengaruhi distribusi film. UU 1992 hanya mengatur film bioskop tradisional, sementara UU 2009 memperluas cakupan ke film untuk media lain (TV, internet) serta memperkuat aspek perlindungan budaya.
- Isu Globalisasi: Maraknya film asing yang dianggap mengancam identitas nasional memicu kebutuhan regulasi yang lebih ketat untuk melindungi konten lokal.
-
Sensor Film dan Lembaga Sensor Film (LSF)
- LSF sebelumnya bernama Badan Sensor Film (BSF) yang diatur dalam UU 1992. UU 2009 mempertegas independensi LSF sebagai lembaga nonstruktural di bawah Presiden, bukan bagian dari pemerintah.
- Kontroversi Sensor: UU ini memicu kritik dari kalangan sineas karena dianggap membatasi kebebasan berekspresi. Namun, pemerintah beralasan sensor diperlukan untuk melindungi nilai Pancasila, moral, dan keamanan nasional.
-
Pendorong Ekonomi Kreatif
- UU 2009 muncul seiring kebijakan pemerintah mengembangkan ekonomi kreatif (terutama di era SBY). Film dianggap sebagai industri strategis yang dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan devisa melalui ekspor.
- Insentif Fiskal: UU ini mengatur pendanaan perfilman melalui APBN/APBD, termasuk insentif bagi investor dan kerja sama internasional.
-
Perlindungan Hak Cipta dan Sertifikasi Profesi
- UU 2009 memperkenalkan sertifikasi kompetensi bagi pekerja film (Pasal 9), yang bertujuan memitigasi praktik eksploitasi dan meningkatkan standar kualitas SDM. Hal ini merespons maraknya kasus pembajakan dan minimnya perlindungan hak cipta di era sebelumnya.
-
Polemik Kuota Tayang Film Indonesia
- Pasal 33 UU 2009 mewajibkan bioskop mengalokasikan minimal 60% jam tayang untuk film Indonesia. Aturan ini menuai protes dari pengusaha bioskop, tetapi didukung sineas untuk mengatasi dominasi film asing (terutama Hollywood).
-
Konteks Politik dan Budaya
- UU ini lahir di tengah upaya pemerintah mengonsolidasikan identitas nasional pasca-Reformasi. Film dianggap sebagai alat soft power untuk mempromosikan budaya Indonesia di kancah internasional (misal: festival film).
- Respons Terhadap Otonomi Daerah: UU 2009 mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam perizinan usaha film, sejalan dengan semangat desentralisasi.
-
Perkembangan Pasca-2009
- UU ini menjadi dasar terbitnya PP No. 18/2014 tentang LSF dan Permendikbud No. 42/2015 tentang Sertifikasi Kompetensi.
- Tantangan Implementasi: Meski jumlah film Indonesia meningkat (dari 50 film/tahun pada 2009 menjadi 150+ film/tahun pada 2023), masalah distribusi merata dan minimnya kualitas masih menjadi kritik.
Catatan Kritis
- UU 2009 dinilai belum sepenuhnya adaptif terhadap perkembangan teknologi (misal: platform digital seperti Netflix).
- Sanksi pidana (Pasal 12) untuk pelanggaran sensor dianggap terlalu berat (penjara hingga 5 tahun), berpotensi disalahgunakan untuk membatasi kebebasan kreatif.
UU ini mencerminkan upaya pemerintah menyeimbangkan antara perlindungan budaya, pengembangan industri, dan kontrol negara atas konten film.